Sementara bagi Wali’ah ini adalah peluang untuk mendapatkan pundi-pundi emas. Maka dengan diam-diam ia memberitahukan kedatangan kedua pemuda tampan itu kepada kaumnya.
Kaum Sodom pun berdatangan ke rumah Nabi Luth dengan penuh kebringasan. Luth mencoba mencegah mereka dengan menawarkan untuk menikahi putri-putrinya. Hal itu bagi Luth lebih ringan dari pada mereka berbuat bejat kepada tamunya. Namun mereka tidak berminat sedikit pun kepada putri-putri Luth.
Tiba-tiba tamu itu berkata kepada Nabi Luth: “Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu engkau.” Kemudian mereka berkata lagi: “Bukakan pintu dan tinggalkanlah kami bersama mereka!”.
Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya. Kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Malaikat menunjukkan kelebihannya, ia mengembangkan sayapnya dan memukul orang-orang durjana itu.
Akhirnya mata mereka menjadi buta seketika. Mereka berteriak kesakitan dan bingung mencari arah. Bertanyalah Nabi Luth kepada Malaikat: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?” Malaikat menjawab bahwa azab akan ditimpakan kepada kaumnya pada waktu Subuh nanti.
Malaikat memerintahkan Nabi Luth untuk pergi pada akhir malam nanti bersama semua keluarganya, terkecuali istrinya. Istrinya Wali’ah termasuk yang akan diadzab. Karena ia telah berpihak dan turut membantu orang-orang berbuat kerusakan (QS. Huud: 81).
Kisah Wali’ah ini memberi pelajaran penting tentang keberpihakan. Betapa keberpihakan terhadap kekejian dan kemungkaran akan menyeret pada kebinasaan. Apapun yang menjadi alasan. Entah karena tendensi materi, empati yang bukan pada tempatnya, atau karena intelektualitas yang kebablasan. (end)
@hakimuddinsalim