Bila berjanji, harus ditepati. Sebab, janji itu akan terus ditagih sampai akhirat nanti. Karena itu, jangan mudah membuat janji. Mudah terucap di bibir, tapi aplikasinya tak tentu rimbanya. Tampaknya, menjelang masa kampanye pilkada dan pilpres, menjanjikan sesuatu kepada rakyat menjadi tren di kalangan calon pemimpin. Janji tinggal janji. Janji tidak menaikkan harga BBM dulu menjadi wacana bagaikan asap mengepul lalu tak tampak lagi.
Di kawasan Keputran, jam belum menunjukkan pukul dua pagi. Sepulang kerja dini hari, kawasan tersebut biasa saya lewati. Di emperan masuk Pasar Keputran, menjelang pagi buta sudah berjejer pedagang dengan gelaran tikar sebagai stan. Mereka rata-rata wanita yang sudah sepuh. Di antara mereka, ada yang menjual tomat, cabai, sayuran, bawang merah, dan bawang putih.
Namun, jangan mengira bahwa itu mereka dapat dari membeli di tengkulak atau agen sayur yang masuk di pasar tersebut. Sebab, barang yang mereka jual adalah hasil dari mengais di sekitar pasar. Bila ada truk pengangkut sayur dari luar kota Surabaya masuk pasar, atau jika terdapat sayur yang dinilai kurang bagus, sayur atau tomat, cabai, dan lain-lain itu dibuang. Nah, sayur dan kebutuhan masak sehari-hari itulah yang dikais lalu dibersihkan dan dijual kembali oleh mereka.
Suatu ketika, saat berbelanja di Pasar Keputran, saya membeli cabai seharga seribu rupiah di seorang ibu tua langganan saya. Hari itu tidak seperti biasanya, saya hanya mendapat sedikit sekali. Tapi, saya pun mafhum karena harga cabai tengah melonjak. Dalam bahasa Jawa halus, saya bertanya kepada beliau, ”Kenapa dagangannya sepi (sedikit) hari ini, Bu?” Beliau menjawab bahwa hari itu dirinya tak mendapat hasil dari mengais, sedangkan untuk membelinya ia tak sanggup karena mahal.
Sering tatapan melas ibu tersebut membuat saya tak tega untuk tidak membeli sesuatu di stannya yang hanya gelaran tikar. Dan pedagang yang seperti ibu itu jumlahnya banyak di pasar tersebut. Meski hanya pedagang yang mencari barang jualannya dari hasil mengais, saya tak menutup mata bahwa mereka seperti itu agar dapat bertahan hidup.
Hal mana yang yang membuat hati ini terenyuh adalah ketika menatap sepiring nasi dengan lauk tempe dan sambal kecap di samping sayur dan kebutuhan dapur yang dia jual. Bagi dia, bagi rakyat kecil sekalipun, tempe mungkin makanan mewah karena makin mahalnya harga kedelai.
Di tengah situasi ekonomi yang makin tak menguntungkan rakyat kecil dan duafa, kenaikan harga BBM mungkin menjadi impitan yang mencekik. Hidup di negara yang kekayaan alamnya melimpah, tapi utangnya pun merajai dunia. Pemberantasan buta huruf dan mengurangi angka kemiskinan faktanya hanya sebatas wacana. Justru, para pengusaha dan investor asing mendapat tempat teristimewa ketimbang pemenuhan pemerataan pangan bagi rakyat miskin dan duafa.
Selain ibu pedagang yang juga pengais tadi, banyak warga miskin yang makan hanya dengan nasi kucing atau nasi aking. Subhanallah, betapa sulitnya keadaan mereka, para duafa. Apalagi dengan naiknya harga BBM yang tentu saja akan berimbas pada naiknya harga kebutuhan pokok sehari-hari.
Suatu pemandangan menyesakkan kerap terjadi di tengah kita. Bahwa seorang pencuri yang benar-benar mencuri karena tuntutan perut lapar bisa dihakimi massa sampai mati. Sementara, para koruptor negara hanya divonis beberpa tahun bahkan bisa bebas dengan jaminan sejumlah uang. Astaghfirullah.
Wahai pemimpin, usahlah berjanji atas nama rakyat apabila janji itu tak sanggup engkau tepati! Bayi gizi buruk terjadi di mana-mana. Sementara, di waktu yang sama, kampanye pilkada meriah dengan panggung hiburan dan bumbu janji-janji pemimpin. Masya Allah. Jangan lagi korbankan masyarakat miskin, wahai pemimpin! Inilah jeritan kaum papa yang tak lagi mampu membeli beras dan susu untuk bayi-bayi mereka. Mati karena gizi buruk dan lapar selalu menghantui warga miskin dan kaum duafa.
Tataplah wajah-wajah murung di rumah dengan dinding triplek di dusun dan desa-desa. Lihatlah, bayi-bayi yang disusui dengan air tajin karena ibunya tak lagi mengeluarkan air susu akibat sering menahan lapar. Mereka bukan momok, mereka saudara-saudara kita. Subhanallah, apakah wajah lesu darah dan lapar itu harus terus menanggung beban naiknya harga BBM? Apakah rakyat yang tak mengerti apa-apa itu harus menanggung dosa para koruptor negara yang mengakibatkan utang luar negeri bangsa ini menjadi nomor wahid di dunia?
Air mata mereka, air mata kaum duafa adalah kepedihan bangsa. Entah kapan bisa hidup di negara yang benar-benar merdeka. Merdeka hati dan segenap jiwa. Berbagi tali kasih dengan sesama yang kekurangan.
Rabbana zhalamna anfusanaa, wainlam taghfirlanaa, watarhamnaa lanakunannaa minal khasiriin..
[email protected]