Tragedi seorang ibu dengan tiga anaknya yang akhir-akhir ini menjadi pusat pemberitaan media massa membuat ulu hatiku terasa nyeri, sangat nyeri. Aku tidak ingin membuat analisa apapun tentang kasus ini, tapi, entah mengapa, hal itu mengingatkanku pada masa-masa pasca melahirkan kedua buah hatiku. Segera setelah melahirkan, aku merasa kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, serta kehilangan energi dan motivasi untuk melakukan apapun. Aku pun merasakan kekecewaan yang besar terhadap dunia di sekitarku dan merasa hidup ini tidak ada lagi gunanya. Tangisan bayi terasa bagaikan menerorku siang dan malam, seolah bayi itu tak mau membiarkanku menjadi diriku sejenak saja. Ya, saat itu aku merasa sudah kehilangan diri sendiri. Bahkan, kadang-kadang hal itu membuatku marah, sangat marah kepada bayiku.
Mungkin situasi itu tidak akan terjadi bila ada yang mendampingiku secara penuh setelah melahirkan. Namun apa daya, kedua orangtuaku tinggal di luar kota dan mereka sudah sangat tua. Kakakku satu-satunya tinggal bersama suaminya di luar negeri. Mertuaku sudah meninggal. Ipar-iparku? Ah, mereka hanya datang menengok sebentar-sebentar saja. Semua orang punya kesibukan masing-masing, aku memakluminya. Maka tinggallah aku sendiri menjalani masa-masa pasca melahirkan, dengan didampingi suami yang juga harus meninggalkanku selama hampir 12 jam sehari untuk mencari nafkah.
Sekitar dua tahun kemudian, melalui sebuah majalah terbitan Amerika yang kupinjam dari temanku, barulah aku mengetahui bahwa yang terjadi pada diriku waktu itu adalah depresi pasca melahirkan atau diistilahkan juga dengan ‘baby blues’. Berapa lama seorang ibu menderita baby blues, sangat relatif. Ada yang sebentar, ada pula yang berkepanjangan selama berbulan-bulan, bila tidak ditangani. Seperti yang kubaca di majalah itu, baby blues bisa menimpa kaum ibu yang tidak memiliki anggota keluarga atau teman yang bisa diajak bicara (curhat), ibu yang sedang mengalami depresi karena sebab-sebab di luar masalah kehamilan dan persalinan (misalnya, sedang depresi memikirkan masalah ekonomi), atau ibu yang memiliki kehidupan yang berat pada masa kehamilan dan pasca melahirkan.
Di majalah itu diceritakan kasus seorang ibu yang membunuh bayinya karena depresi menghadapi tangis bayi itu. Konon, setelah kejadian itu, di Amerika disediakan layanan telepon khusus bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Setiap kali mereka merasa panik dan hampir kehilangan kendali menghadapi bayi, mereka bisa menelpon untuk sekedar curhat dan menenangkan diri. Memang, terapi terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah "terapi bicara." Ya, bicara.
Yang kami—para ibu yang baru melahirkan—butuhkan agaknya hanya teman untuk menemani kami menjalani masa-masa berat itu. Aku ingat, karena sering menangis dan murung (dan marah-marah), suamiku akhirnya meminta cuti selama sebulan—lalu diperpanjang lagi selama sebulan berikutnya, tanpa gaji. Waktu dua bulan penuh itu dihabiskannya seratus persen di sampingku. Dia membantuku mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Dia akan segera menggendong bayi kami ketika dilihatnya aku mulai marah dan kehilangan kesabaran menghadapi tangisnya. Tentu saja dia tidak tahu apa-apa tentang baby blues. Hanya nalurinya saja yang mendorongnya untuk mengambil tindakan itu, dan ternyata memang itulah tindakan terbaik, sehingga alhamdulillah, masa-masa berat itu berhasil kami lalui dengan selamat.
Pasca melahirkan anakku yang kedua, kebetulan kami telah pindah rumah. Kami memiliki seorang tetangga yang sangat penuh perhatian, namanya Ibu Yuni. Hampir setiap hari, dia menyempatkan diri untuk menjengukku barang sepuluh-lima belas menit. Ajaib, kunjungannya benar-benar sangat mujarab untuk menyelamatkanku dari serangan baby blues kedua. Suamiku sama sekali tidak perlu cuti berbulan-bulan lagi, cukup seminggu saja. Aku dapat jauh lebih tenang menjalani masa-masa pasca persalinan karena merasa ada seseorang yang siap mendengarkan keluhanku, walau hanya sekedar, "Aduh, pusing nih, dari tadi Iqbal nangis mulu!" dan mendengar jawaban dari Ibu Yuni sekedar, "Oh, mungkin perutnya kembung."
Pengalamanku ini membuatku mengambil dua kesimpulan besar. Pertama, sebagai perempuan, bila ada teman kita yang baru melahirkan (dan kita tahu dia sendirian, tanpa ibu atau saudara yang mendampingi), sebisa mungkin banyak-banyaklah menjenguknya, atau paling tidak, mengirimkan SMS kepadanya. Percayalah, hal itu sangat berperan besar untuk membantunya melewati masa-masa berat pasca melahirkan. Kedua, kepada para suami, aku ingin berpesan, "Wahai para suami, jangan tinggalkan kami pada masa-masa berat ini. Kami butuh kalian saat ini, bukan nanti, ketika pekerjaan selesai. Tidak ada kata nanti. Saat ini juga, dampingilah kami sebentar, supaya kami bisa menemukan diri kami kembali dan siap kembali menjalani hari-hari dengan kestabilan emosi."