Suatu hari kami pernah dikagetkan dengan kedatangan ibu ke rumah. Padahal jalan yang harus ditempuh lumayan jauh, sekitar dua jam dengan empat kali ganti angkutan umum. Ditambah dengan kondisinya yang sering sakit-sakitan, kakinya yang kadang tidak bisa diajak kompromi setelah lebih sepuluh tahun digerogoti diabetes. “Kangen cucu,” alasan utama yang memberinya kekuatan luar biasa.
Di hari lain ketika kami berkunjung ke rumahnya, ibu ditawari untuk ikut jalan-jalan ke menginap di villa salah satu keluarga kami di kawasan Puncak, Bogor. Biasanya ibu tidak pernah menolak ajakan adiknya itu, karena jalan-jalan ke puncak adalah kesukaannya. Tetapi kali itu, ia menolak tegas ajakan menggiurkan itu dengan satu alasan, “Ada cucu di rumah”. Menurutnya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hari-hari bersama cucu-cucunya.
Cerita lainnya diperlihatkan Ayah. Ia rela menelepon berlama-lama kalau berbicara dengan cucunya. Padahal, Ayah termasuk yang rewel urusan penggunaan telepon yang tidak penting. Alasannya, tagihan pulsa akan membengkak dan tidak ada uang untuk membayarnya. “Ada yang lebih penting dari berbicara dengan cucu?” kilah sang kakek diplomatis.
Si kakek ini kadang aneh juga. Hampir setiap hari keluhan yang terdengar dari mulutnya selalu mengenai kakinya yang sakit karena asam urat. Di hari lain, badannya yang tidak bisa digerakkan. Intinya setiap hari ada saja penyakitnya. Namun ketika para cucu berkunjung ke rumahnya, entah terbang ke mana para penyakit sehari-harinya itu. Bayangkan, tiba-tiba saja ia berani menantang salah seorang cucunya lomba berlari. Atau ia tak keberatan saat cucunya meminta kesediaannya menjadi kuda. Satu cucu menunggang punggungnya, yang lain iri dan tak mau ketinggalan menunggangi punggung yang biasanya selalu dikeluhkan itu. Dan kakinya yang sering sakit itu, tak terasa apa pun saat diduduki beramai-ramai oleh cucu-cucunya.
Satu lagi, kami tak pernah mengizinkan anak-anak meminta sesuatu dari kakeknya. Jangankan meminta, tanpa diminta pun kakek nenek pasti akan memberikan apa yang diinginkan cucu-cucunya. Kadang kami tahu bahwa mereka sedikit memaksakan diri untuk bisa menyenangkan cucunya. Tapi, terang saja kami tak mampu melarangnya. Karena bagi mereka, itulah cinta. Apa pun akan berlaku untuk cinta, semahal apa pun akan terbayar demi cinta.
Banyak yang bilang, cinta kakek dan nenek kepada cucu jauh berlipat ganda dari cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Buat seorang kakek, mungkin dulu ia sering tidak punya waktu bersamaan dengan anak-anaknya lantaran kesibukan mencari nafkah. Ia merasa cintanya belum sepenuhnya dicurahkan, sehingga saat ini cucunya lah yang menjadi muara cintanya. Buat nenek, ada cinta yang takkan pernah habis di setiap aliran darahnya meski segunung cinta sudah ia berikan kepada anak-anaknya dulu. Kini, setiap tetes cinta itu terus mengalir kepada cucu-cucunya. Setiap detik, setiap masa berganti, takkan pernah lekang di makan waktu.
Jangan pernah pisahkan anak-anak kita dari mereka. Sungguh, ada kekuatan luar biasa yang mengalir dari tubuh-tubuh mungil anak-anak sehingga menjadi energi positif bagi kakek dan neneknya. Ia seperti vitamin yang selalu dibutuhkan, melebihi ratusan jenis obat yang pernah diminumnya. Vitamin cinta yang seketika menimbulkan semangat kehidupan seolah garis finish tak terlihat di matanya. Berilah mereka vitamin “C” itu, cukup bagi mereka meski hanya mendengar suaranya dari seberang telepon.
Pernah suatu hari, ibu berjam-jam duduk di dekat telepon. “Menunggu telepon dari cucu,” katanya. Ooh… (bayu gawtama)