Siang itu, dua tahun lalu, aku menunggunya di teras sebuah mesjid di bilangan Jakarta Selatan. Tak jauh letaknya dari rumah orang tuaku di kawasan Kalibata. Juga tak jauh dari tempat pertemuan perdana kami di sebuah mall, yang juga di kawasan Kalibata. Tak jauh letaknya namun jauh perbedaannya. Mengapa?
Pada pertemuan perdana, di sebuah mall yang sejuk dan nyaman, kami bertemu di sebuah restoran waralaba internasional. Dengan gaya eksekutif muda, dipertegas dengan sedan anyar yang dikemudikannya, sang kawan mempersilakanku memesan menu. Nampaknya ia cukup familiar dengan restoran tersebut. Aku sendiri memesan menu – yang jarang aku pesan yang ternyata berukuran besar dan tak habis dalam satu sesi perbincangan – dan kami berbincang soal naskah dan sastra. Ia memang seorang manajer penerbitan di sebuah penerbitan besar. Dan kami berkenalan lewat sebuah situs di mana ia mengontakku untuk sebuah appointment setelah membaca salah satu tulisanku. Ujung dari pertemuan yang menyenangkan itu — sebab siapa yang tak senang ditraktir? – adalah janjinya untuk mempelajari naskahku untuk diterbitkan di tempatnya bekerja. Aku pun mulai merenda harapan. Aku yakin, dengan kesan profesionalisme yang ditunjukkannya, naskahku bakal diterbitkan segera.
Dua bulan kemudian, ia kembali mengontakku. Kali ini dengan sebuah kabar mengejutkan: ia berhenti dari perusahaan penerbitan tersebut. Kabar baik: ia sedang merintis penerbitan baru dan naskahku akan diterbitkan lewat penerbitannya tersebut. Meski sensasi harapannya jadi terasa berbeda, aku tetap mengiyakan. OK. Dan kami sepakat bertemu beberapa hari kemudian. Ya, di sebuah mesjid. Kendati agak terasa aneh karena jauh berbeda dari tempat pertemuan awal, aku lagi-lagi mengiyakan. Tak apa, barangkali sekadar mampir di mesjid, pikirku.
Tepatlah siang terik itu aku menunggunya. Telat sejam dari janjinya, sang kawan datang. Tidak dengan kemeja dan celana panjang bahan a la orang kantoran, tapi dengan kaus oblong dan blue jeans. Tidak bermobil, tapi dengan menumpang angkutan umum. Dengan tas ransel besar di punggung, kesan lelah terpancar betul yang diperkuat dengan keringat membasahi wajah dan bajunya. Inikah sang mantan manajer kini? Menyelinap lintasan tersebut di benakku yang berupaya beradaptasi dengan segala kondisi kontras yang ada.
“Maaf, Mas, maklumlah saya baru merintis usaha. Jadi betul-betul dari nol,” seakan memahami bahasa kalbuku, ia berujar,”Yang kemarin itu mobil kantor. Insya Allah sebentar lagi ada motor. Jadi saya tidak perlu terjebak macet seperti sekarang.”
Aku tersipu malu seperti kucing ketahuan hendak mencuri ikan di dapur. Dengan berusaha memperbaiki mindset tentang citra awal sang kawan, aku terlibat perbincangan serius tapi santai dengannya soal rencana kami. Serius, karena berkisar soal penerbitan naskah. Santai, karena sambil selonjor di teras mesjid yang dihibur dengan sepoi-sepoi angin jam dua siang. Tapi tetap saja kesan pertemuan perdana dan pertemuan kedua sungguh jauh berbeda. Ibarat wisata kuliner, rasanya tak lagi semaknyus dulu.
Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan suatu kesepakatan. Tapi karena banyak hal rencana penerbitan itu gagal. Aku pun, sayangnya, kehilangan nomor kontak atau email sang kawan ‘mantan manajer’ itu sejak ponselku rusak berat. No regret – meminjam judul biografi Wimar Witoelar yang ditulis Fira Basuki – bagiku namun aku mendapat pengalaman batin baru yang mencerahkan sekaligus mengkhawatirkanku. Hikmah ini pun baru aku sadari setelah nyaris setahun usia pertemuan kami.
Sebagai manusia beradab, aku percaya kata pepatah ‘don’t judge the book by its cover’. Jangan menilai orang dari sekadar penampilan. Namun, dalam praktiknya, berpakaian rapi itu penting untuk menarik kesan dan perhatian. Meski aku yakin sang kawan sudah menganggap akrab diriku sehingga ia pun berpakaian casual saat itu. Itu hal yang mencerahkan. Yang mengkhawatirkanku adalah — ini lagi-lagi sebuah lintasan di benak – betapa aku mendapati diriku terjebak pada mindset yang terbentuk pada pertemuan perdana. Dan betapa susah mengubahnya ketika ada citra lain yang ditampilkan pada pertemuan kedua.
Aku lantas bertanya-tanya, ini yang mengkhawatirkan, apakah virus matre (materialisme) sudah menjangkitiku? Self-defense mechanism dalam diriku bekerja otomatis: Tidak! Itu hal wajar, Salam. Tapi suara batin yang lain berujar lugas,”Ya, kamu sudah kena jangkit virus matre. Lihatlah, betapa kamu menganggap beda kawanmu hanya dari penampilan yang berbeda.”
Aku tercenung. Benar juga ya, batinku. Jika aku tidak kena virus matre, baik sadar atau tidak, aku tentu tetap punya gambaran positif yang sama akan kawanku itu. Inna lillahi wa inna ilahi roji’un.
Teringatlah aku akan sebuah kisah Nasrudin Hoja, seorang sufi kocak dari Turki, di salah satu buku yang pernah aku baca.
Alkisah, di sebuah pesta pernikahan, Nasrudin Hoja datang dengan baju lusuh. Dengan tenang, setelah menyalami pengantin dan keluarga, ia menuju hidangan yang disediakan. Naas, tuan rumah mengusirnya karena menganggap sang sufi tidak berpakaian dengan layak. Nasrudin pulang dengan dongkol. Kemudian ia kembali lagi dengan baju paling bagus yang ia miliki. Tanggapan sohibul hajat pun sangat berbeda.
“Silakan, ambil makanan sesukamu!” ia menyilakan dengan penuh senyum.
“Baiklah,” jawab sang sufi. Nasrudin pun mendekati hidangan dan memasukkan sebanyak-banyaknya makanan ke dalam bajunya sambil berujar,”Hai baju, inilah jatahmu. Nikmati sepuas-puasnya!”
Sahabat, begitu banyak virus di dunia yang menyerang, mulai dari H5N1 (virus flu burung) hingga H1N1 (virus flu babi) yang amat kita takuti keberadaannya. Tapi lebih banyak lagi virus hati, mulai dari ‘virus merah jambu’, ‘virus riya’ hingga ‘virus matre’ yang mungkin menyusup halus tanpa kita sadari. Dan, ironisnya, mungkin kita santai-santai saja menyikapinya.
Sampai di sini, aku mulai memahami – dengan pemahaman yang lebih kaya — mengapa Rasulullah SAW men-dawam-kan (membiasakan) beristighfar 70 kali sehari. Ya, istighfar akan membersihkan hati dari serbuan ‘virus’ hati bermuatan gen-gen dosa.
Wallahu a’lam bisshawwab.