Utang-Piutang

Kubuka kenangan masa lalu beberapa tahun berselang, yaitu suka-duka sebagai anak kos di kota Bandung. Gembira dirasakan saat kiriman uang dari orang tua telah sampai. Kebanyakan orangtua menggunakan sarana wesel pos atau transfer lewat bank untuk mengirim uang kepada anaknya. Kiriman uang baru bisa diterima beberapa hari setelah dilakukan pengiriman. Belum ada jaringan bank yang on line, ataupun wesel pos elektronik. Saat ini, dengan memanfaatkan teknologi informasi, kiriman uang bisa diterima dalam hitungan detik, dan pengambilannya bisa dilakukan setiap saat di ATM.

Keterlambatan kiriman uang dari orangtua akan menimbulkan masalah. Anggaran pengeluaran telah telah dibuat untuk memenuhi berbagai kewajiban sebagai mahasiswa. Tagihan uang kos dari induk semang terbayang di pelupuk mata. Belum lagi biaya hidup sehari-hari yang harus dikeluarkan. Untuk ongkos kendaraan umum dari tempat kos ke kampus pergi-pulang dan makan siang di kantin kampus. Belum lagi biaya untuk pembayaran uang praktikum. Atau untuk pembelian diktat dan buku teks kuliah. Kondisi demikian akan menyadarkan kita, sungguh besar pengorbanan orangtua mencari nafkah untuk keperluan keluarga. Sehingga, selayaknya bakti dan hormat kepada orangtua menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. ”Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orangtua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orangtua. ” (HR Hakim).

Kita butuh uang untuk pembayaran suatu keperluan yang penting dan sangat mendesak tetapi uang di tangan tidak mencukupi seperti kondisi di atas. Solusi yang bisa dilakukan adalah berutang kepada orang lain yang mempunyai kelebihan. Saling tolong menolong dalam bentuk perjanjian utang-piutang merupakan perwujudan hablum minannas. Utang-piutang harus dibuat secara tertulis sesuai perintah Allah SWT (QS Al-Baqarah[2]:282).

Aku terkenang saat masih duduk di bangku SMP di kota Malang. Pak Harno penjaga sekolah membuka warung di halaman sekolah. Macam-macam makanan dan minuman dijual di warungnya, dibantu oleh sang isteri. Mereka berdua dengan penuh keramahan melayani para siswa. Saat istirahat sekolah, warung yang rapi dan bersih itu ramai oleh para siswa, terlebih setelah pelajaran olahraga. Pak Harno tidak keberatan jika ada siswa yang berutang karena tidak membawa uang. Dicatatnya utang para siswa yang suka jajan di warungnya. Nama siswa, jumlah utangnya dan janji tanggal pelunasannya tertulis lengkap dan rapi dalam buku catatannya. Subhanallah, orang yang sangat sederhana itu telah melaksanakan perintah Allah dalam hal utang-piutang.

Fakta yang sering kita saksikan, masih banyak di antara kita yang belum bisa menjalankan amanat utang-piutang itu dengan benar, yakni membayar utang tepat waktu. Menunda pembayaran utang di saat kita lapang dan bisa membayarnya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Melunasi utang sesuai kesepakatan yang telah dibuat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan seseorang yang berutang. Jika tidak dilaksanakan, akan timbul konflik antara kedua belah pihak yang mengadakan utang-piutang.

Jika seseorang berutang mengalami kesulitan untuk melunasi utang sesuai perjanjian yang dibuat dan meminta penangguhan untuk pelunasannya, maka pihak yang memberi pinjaman utang harus dengan penuh kerelaan memenuhinya. Kesepakatan baru antara kedua pihak dibuat dengan berbagai pertimbangan untuk kebaikan bersama. Bahkan, menyedekahkan sebagian atau semua utang adalah hal yang mulia. “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]:280)

Pada saat melayat pada keluarga yang ditinggal wafat oleh anggotanya, biasanya ada pemberitahuan agar yang mempunyai urusan utang-piutang dengan orang yang wafat agar menghubungi ahli waris. Sehingga, utang-piutang bisa diselesaikan bersama ahli waris. Sesuai syariat, jika seseorang wafat dan meninggalkan utang, maka ahli waris berkewajiban untuk melunasinya. ”Sesungguhnya ruh seorang mukmin ditangguhkan (dari hisabnya) sampai utangnya dibayar. ” (HR Tirmidzi).