Usah Kau Lara Sendiri, Ukhty
Di sebuah foodcourt Blok-M Square.
Kalau saya boleh memilih sebenarnya saya tak ingin pertemuan itu berlangsung pada saat itu. Menemui dirinya saat orang-orang sedang menunaikan ibadah shalat sunah di malam bulan Ramadhan. Menunaikan ibadah shalat tarawih plus witir. Jujur sebenarnya saya risih dengan pertemuan itu. Pertemuan antara seorang dua makhluk berlainan jenis di malam bulan suci. Pertemuan dalam satu meja pesanan di sebuah foodcourt. Hingga akhirnya pertemuan itu tak terelakan…Aku bertemu juga dengan dirinya.
Menolak? Hal itu sempat terlintas dalam benak saya. Karena dari awal saya sudah enggan untuk melangkahkan kaki saya. Apalagi dari segi etika tata cara pergaulan yang islami bila ada ada sepasang anak manusia berlainan jenis bersatu dalam sebuah pertemuan di dalam satu tempat orang ketiganya adalah setan. Ayo, acungi jempol yang ingin jadi orang ketiganya?
Memang hal ini sudah terlihat jelas gejalanya ketika sejak maraknya pembicaraan dua arah di dunia maya makin digandrungi para user-nya. Tak kecuali etika dalam pembicaraan atau ajang curhat di dalam dunia maya. Baik itu memakai jasa chatting: facebook, yahoo messenger. friendster maupun meebo. Dan lebih ironinya ada juga yang memakai fasilitas webcame untuk lebih mengetahui siapa lawan bicaranya saat itu.Tanpa sadar sudah melakukan kesalahan dari tujuan semula yang sudah diketahui para user itu sendiri. Dan itu sudah banyak dialami saat-saat ini terlebih forum majlis bernama facebook semakin santer. Berapa banyak para user dari kalangan yang sudah berkeluarga dan memiliki pasangan halal ketika bermajlis ria itu dilakukan tanpa sadar sudah melampaui batas dari norma biasa-biasa saja. Yang tadi hanya ajang bersilaturahim dan ber-say hallo hingga akhirnya terlibat dengan urusan perasaan. Urusan hati. Oh, my God ternyata sudah sejauh itukah dampak dari majunya tekhnologi dunia maya? Entahlah.
Apa bedanya dengan saya? Tentu beda! Apalagi niat saya itu ingin membantu mencari jalan keluar penyelesaian itu. Dan itu saya lakukan memang benar-benar accidentil. Niat murni ingin membantu. Kalau dalam hal ini saya salah, saya terima. Tetapi akan lebih salahnya lagi jika saya tak membantu untuk mencari jalan keluar penyelesaian masalah yang dihadapinya ketimbang nanti akan ada hal yang lebih buruk lagi. Lagi-lagi saya murni hanya ingin membantu dan menolongnya. Itu saja!
Berawal dari sebuah pesan singkat.
Gw lg bnyk maslah neh, Yan. Gw bth tmn ngobrol neh.
Sebuah pesan singkat masuk ke tubuh ponsel tanpa saya sadari. Pesan singkat yang benar-benar diluar dugaan. Ya, kalau dibilang terkejut saya terkejut. Dibilang kaget ya jelas kaget. Dibilang shoked ya jelaslah! Wong baru kali itu saya mendapatkan pesan singkat bernada seperti itu. Ada seorang perempuan—sebut saja ukhty begitu saya menyebutnya. Karena aku ingin menghormati seorang perempuan—dan terlebih dia adalah kawanku pula. Kawan tanpa ada komanya apalagi tanda seru! Melainkan titik! Sebatas kawan saja!
Sebenarnya pesan singkat yang dikirimnya bukan itu saja. Ada pesan singkat lagi yang enar-benar tak pantas saya terangkan disini. Karena saya menganggap pesan singkat itu benar-benar tak pantas! Hanya saya yang tahu dengan si pengirim pesan singkat itu. Dan…, akhirnya saya pun menemui juga dirinya. Walau saya sebenarnya enggan untuk melangkah lebih jauh untuk menemui dirinya. Tetapi karena ini untuk menyelamat seorang ukhty yang sedang berkelut dengan masalah yang—bila saya tak menemui dirinya akan fatal akibatnya. Semua itu sudah terlihat jelas dari kiriman pesan singkatnya yang tak pantas saya terangkan disini. Hanya membuat saya merasa amat prihatin dan iba saja.
Namun sebelum saya menemui ukhty itu saya terlebih dahulu berkonsultan ria dengan kawan saya yang notabene kawan saya satu halaqah. Apalagi kawan saya itu sudah beristri. Mungkin ia bisa memberikan jalan untuk saya. Hingga akhirnya perbincangan saya dan dirinya terjadi.
“Gimana nih yang harus gue lakuin. Menemui dia atau nggak?” tanya saya meminta pendapatnya dari seberang jalan sana. Mengunakan via telepon.
“Ya, haruslah! Biar dia bisa dapat teman ngobrol sama dapat pencurahan dari lo. Siapa tahu dia sadar apa yang selama ini dia lakukan salah. Apalagi dia tahu bahwa masalahnya tidak seberat dari lo selama ini.” Panjang lebar kawan saya itu memberikan contoh masukan untuk saya. Apa saja yang saya lakukan dan saya utarakan jika nanti saya bertemu dengan ukhty itu. Dan akhirnya saya pun melakukan apa yang kawan saya berikan.
“Thanks ya, bro!”
Akhirnya keluar juga airmata penyesalan itu
Benar. Apa yang dikatakan kawan saya itu. Akhirnya saya mendengar juga curhatannya di foodcourt malam itu. Saya merasakan ada sesuatu yang perlu ditolong dan dibantu untuk dirinya. Hingga rasa keprihatinan saya kepadanya makin tinggi. Ingin membantu dan menyelesaikan apa yang sudah ia alami dan rasakan. Memang sayangnya saya bukan dia. Apalagi saya bukan orang terdekatnya yang barang tentu batasan itu akan terlihat jelas bahwa saya seorang kawan saja. Tak banyak memberikan yang jauh dari hal itu.
Saya bukanlah lelaki yang begitu peka terhadap hati seorang perempuan. Itulah yang ingin saya katakan. Saya tidak begitu peka mengetahui perasaan perempuan. Toh, saya saja sendiri juga terkadang tidak bisa menebak hati seorang perempuan. Apakah ia suka dengan saya atau hanya main-main saja. Atau, hanya sebatas kawan saja. Itulah saya yang tak mengetahui perasaan perempuan. Maka dari itu saya sering dimainkan oleh perasaan. Dan sering lagi dimainkan pula oleh perempuan. Hingga akhirnya saya sekarang ini tak ingin bermain-main lagi dengan perasaan saya. Karena perasaan hanya untuk perempuan yang tepat untuk saya jadikan bidadari di istana mungil yang akan saya bangun nanti. Tapi saya turut merasakan apa yang dirasakan oleh ukhty itu. Maklum saya tahu apa yang dialaminya saat itu—dengan lebih dahulu mengetahui dari pesan singkat ia kirimkan kepada saya sebelumnya.
Dengan uraian airmata yang mengembun di kaca minusnya saya tahu ia sangat menyesali segala tindakan dan ucapan yang dilakukannya. Ia merasa seperti tidak punya Tuhan dan iman yang sudah tak terjaga dalam dirinya. Padahal yang saya tahu dia adalah ukhty yang sangat smart dan intelek seperti yang saya ketahui saat ia mengenal saya seperti saat malam itu. Ia memberitahukan bahwa ia berasal dari lulusan dari universitas di Bandung yang cukup wah dan punya nama itu. Saat ia mengenal saya yang belum berapa lama ini berjalan. Mungkin karena saya kawan yang asyik dijadikan teman mengobrol akhirnya sampai sekarang ini ia sangat membutuhkan saya untuk mendengar ceritanya dibanding kawan sekaumnya—yang jelas ia memang tahu dan pernah mengalami hal yang amat mengecewakan ketika kaumnya telah membuka aibnya di sekitar orang-orang terdekatnya hingga ia tak percaya dengan kaumnya itu. Apalagi telah membuat ia sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Ironi memang!
Lagi-lagi saya tak ingin mencampuri masalah intern-nya itu. Bagi saya sudah dipercayai olehnya untuk menjadi teman curhatnya saja saya sudah lebih baik dan ia bisa mempercayai saya tanpa pikir panjang. Apakah saya sama seperti kaumnya atau tidak? Tapi saya tetap memegang amanah apa yang ia katakan sebelum mengakhiri pembicaraannya.
“Lo janji ya jangan kasih tahu apa yang gue alami sama orang lain.”
“InsyaAllah dan lo jangan lagi-lagi melakukan tindakan kayak begitu lagi, okay! Ingat lo punya Tuhan dan masih banyak orang-orang di bawah lo. Kalau lo mau tahu ikut gue ke yayasan yang sudah sebulan ini gue mengajar disana.” Bak seorang konsultan yang mendapatkan klien saya pun serta merta memberikan hal yang terbaik. Halnya orang yang sudah mau mempercayai saya untuk menjadi orang yang dapat dipercayainya itu.berbaginya. Hmm…ternyata seru juga menjadi pendengar yang baik itu.
Hingga akhirnya foodcourt tempat ukhty itu mengeluarkan apa yang selama ini membatu dan mengkristal di benak serta di hatinya akhirnya tumpah ruah juga di tempat itu. Tempat yang sudah menjadi saksi bahwa ia berjanji tidak melakukan hal itu. Sayang saya bukan orang yang halal baginya. Jadi saya sadari dan mengetahui batasan itu. Cukup mendengar ceritanya dan menjadi pendengar yang baik itu sudah lebih dari cukup. Dan berarti ia benar-benar memberikan kepercayaan itu sepenuh kepada saya. Hmm…sebegitu larakah kau ukhty…?
Penulis adalah anggota dan pengurus FLP Jakarta dan penulis buku Bela Diri for Muslimah. Jika ingin bersilaturahim tinggal klik:http://sebuahrisalah.multiply.com/Fb:[email protected].
Ulujami—Pesanggrahan, 19 Ramadhan 1430 H
Hanya untuk sendiri.