”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr [103]:1-3).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al-‘Ashr berarti masa yang di dalamnya berbagai aktivitas anak cucu Adam berlangsung, baik dalam wujud kebaikan maupun keburukan.
Waktu adalah karunia yang agung, dan anugerah yang begitu besar. Namun, orang yang mampu memanfaatkan waktu amatlah sedikit. Kebanyakan manusia justru lalai dan tertipu dalam memanfaatkannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari).
Rasulullah dan para sahabatnya senantiasa memperhatikan persoalan waktu dalam hidupnya, serta mewujudkan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan semua yang diharamkan dalam pelaksanaan setiap aktivitasnya sesuai waktu yang tersedia.
Bahkan Umar bin Khaththab sangat membenci orang yang tidak bekerja dan pengangguran, serta menyia-nyiakan waktu, baik untuk dunianya ataupun akhiratnya.
Begitu pun para ulama yang mengikuti jejak mereka, sangat berhati-hati dalam memanfaatkan salah satu dari pokok-pokok nikmat yang agung itu.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin (III:49), “Waktu bagi seorang ahli ibadah adalah beribadah dan melantunkan wirid. Untuk seorang yang taat, waktu adalah untuk berkonsentrasi kepada Allah, dan mencurahkan seluruh jiwanya karena Allah. Waktu baginya adalah sesuatu yang paling berharga. Ia akan merasa cemburu sekali bila waktu itu berlalu begitu saja!”
Banyak dari kalangan ulama salaf yang berlomba dengan waktu untuk meraih kemuliaan agung dari Allah Ta’ala. Bahkan, Dawud Ath-Tha’i selalu menelan potongan roti yang dicelupkan ke dalam sop untuk menghemat waktu, seraya berkata, “Antara sekali menelan dan mengunyah roti perbandingannya adalah bacaan lima puluh ayat.”
Imam Abul Wafa’ bin Aqil Al-Hanbali Ali bin Aqil Baghdadi, salah satu ulama utama, termasuk manusia jenius sangat luas wawasannya dalam berbagai ilmu pernah berkata, “Tidak boleh bagiku menyia-nyiakan sesaat pun dari umurku. Jika lisanku berhenti berdzikir dan berdiskusi, dan mataku tidak digunakan membaca, maka aku gunakan pikiranku saat sedang beristirahat sambil berbaring.”
Imam Sulaim Ar-Razi amat militan dalam menjaga sifat wara’nya. Selalu melakukan introspeksi dalam soal waktu. Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa manfaat, dengan terus menulis, mengajar, membaca atau menyalin ilmu dalam jumlah yang banyak.
Sungguh para salafus sholih sangat menjaga setiap detik dari waktu yang mereka miliki. Hanya orang-orang hebat yang mendapatkan taufik dari Allah, yang mampu mengetahui pentingnya waktu, lalu memanfaatkannya seoptimal mungkin dengan amal shalih dan ilmu yang bermanfaat.
*Rana Setiawan (Abu Abdurrahman)
Redaktur Islamic Mi’raj News Agency (MINA)