Aliya adalah gadis cilik berusia tujuh tahun. Kulitnya legam, kurus, dan dekil. Sehari-hari, mengamen di Terminal Jombang. Suatu ketika, dia berkelahi dengan sesama teman pengamennya. Dia dipukul setelah berebut uang dari seorang penumpang. Wajahnya yang lebam membuat iba seorang kawan saya yang kebetulan ada di situ.
Aliya diketahui hidup dengan neneknya. Ternyata, dia yatim piatu. Kawan saya berinisiatif untuk memondokkan dia di sebuah pesantren dekat rumahnya di Jombang. Saya saat itu dikabarkan tentang keberadaan Aliya yang menyedihkan. Kemudian, saya menawarkan kepada sahabat saya itu untuk menjadi kakak asuh Aliya. Saya bersedia menanggung kebutuhan sehari-hari dan pendidikan Aliya di situ. Namun, saya meminta kepada kawan saya tersebut untuk merahasiakan identitas saya sampai saya bisa bertemu langsung dengan Aliya.
Selanjutnya, Aliya menjalani rutinitas barunya sebagai santriwati. Dia senang memiliki kakak asuh meski belum pernah melihat sosok kakaknya tersebut. Kepada kawan saya dan isteri kawan saya itu, Aliya mengatakan ingin bertemu dengan kakak asuhnya yang tidak lain adalah saya.
Kesibukan dan aktivitas saya yang padat di kantor membuat niat saya mengunjungi Aliya selalu gagal. Akhirnya, kawan saya menyampaikan ide untuk bertemu di Sidoarjo saja, di tempat salah seorang familinya. Saya pun sepakat. Akhirnya kami bisa bertemu di Sidoarjo ketika saya libur kerja.
Aliya sebelumnya sengaja tidak diberi tahu bahwa dia akan dipertemukan dengan saya. Dia hanya tahu akan diajak jalan-jalan ke Sidoarjo oleh kawan saya dan isterinya.
Alhamdulillah, saya akhirnya bisa bertemu dengan Aliya. Dia tampak ceria. Beberapa kali, dia memamerkan baju dan jilbab pemberian kakak asuhnya. Dia memang banyak diceritakan tentang kakak asuhnya oleh kawan saya dan isterinya. Saya sangat terharu melihat wajah bocah polos tersebut.
"Apa masku mau ya ketemu aku?" ujar Aliya.
"Lho Mas-mu mesti seneng ketemu kamu. Tapi, apa kamu mau punya mas tukang koran? Kata saya.
"Biarin aja, " sergahnya.
"Kan orangnya baik, " lanjut Aliya.
"Dari mana kamu tahu kalau orangnya baik?" tanya saya.
"Pak ustad (kawan saya) yang cerita, " tuturnya bersemangat.
"Orangnya ganteng nggak ya?" ucapnya penasaran.
Kawan saya dan isterinya hanya tersenyum mendengar itu. Saya bersyukur bisa melihat Aliya. Kepolosan dan keceriaannya membuat semangat kerja serasa bertambah.
"Kapan dong bisa ketemu Masku?" rengek Aliya kepada isteri kawan saya.
"Nanti tho, Nduk (sebutan Nak untuk anak perempuan di Jawa), kamu iso ketemu karo masmu kuwi, " kata isteri sahabat saya tersebut lantas tersenyum menatap saya.
Saya sempat mengajak Aliya dan kawan saya makan di sebuah restoran di Sidoarjo. Aliya sama sekali tidak menaruh curiga bahwa dia sebenarnya telah bertemu dengan kakak angkatnya. Memang, saya hanya diperkenalkan sebagai saudara kawan saya yang sehari-hari mengawasi perkembangan Aliya di pesantrennya.
Seusai pertemuan tersebut, saya mengatakan kepada Aliya bahwa suatu saat kakaknya akan mampir ke Jombang untuk mengunjunginya. "Aku kenal karo masmu, " kata saya di akhir perjumpaan kami sore itu.
Ya, saya menetapi janji saya untuk menemui Aliya di Jombang. Pada saat pertemuan kedua itu, Aliya tidak menyangka bahwa saya adalah kakak asuhnya. Begitu senangnya dia hingga tak sempat berkata selama beberapa saat. Saya menelepon calon isteri saya ketika itu bahwa saya telah bertemu dengan Aliya. Saya menyampaikan bingkisan dari calon isteri saya tersebut kepada Aliya. Aliya menerimanya dengan sangat senang. Mengharukan. Saya tak menyangka bisa sebahagia saat itu. Isteri teman saya sempat meneteskan air mata melihat begitu gembiranya Aliya bisa bertemu kakaknya.
Namun, kebahagiaan itu kini menjadi bagian dari masa lalu. Setelah sempat dirawat inap di rumah sakit setempat karena demam berdarah, Aliya mengembuskan napas terakhir setelah trombositnya sangat rendah. Kawan saya menyesal karena gagal mencarikan darah di PMI setempat. Untuk ke PMI Surabaya, dia akan sangat terlambat mengingat kondisi Aliya yang sangat lemah dan kritis.
Kabar tersebut sampai ketika saya masih harus menyelesaikan mengedit berita sebelum deadline pukul 12 malam. Mata saya tak sengaja basah. Tangan saya bergetar tak mampu menggerakkan mouse dan mengetik. Begitu berat rasanya kehilangan salah seorang tercinta. Innalillahi wa innailaihi raji’uun.
Saya tak lekas pulang saat itu. Setelah suasana redaksi sudah sepi, saya melaksanakan shalat gaib untuk almarmahumah. Badan saya terasa lemas. Saya tak mengira secepat itu kebahagiaan datang dan secepat itu pula kebahagiaan pergi. Tapi, Allah mahatahu. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Hanya, doa yang terpanjat dan terucap saat itu.
(Semoga Ar Rahman mengampuni segala dosa dan memberikan tempat yang layak bagi almarhumah di sisi-Nya)