Bangsa kita adalah bangsa yang besar. Banyak bangsa-bangsa yang peradabannya terlahir karena kita.Jika kita telusuri, nenek moyang orang Malaysia berasal dari Indonesia. Pergi jauh ke Afrika Selatan, kitapun menjumpai cucu-cicit keturunan Syeh Yusuf Makassar.Jauh ke Suriname masih kita jumpai kebudayaan dan kebiasaan bangsa kita lestari dalam masyarakatnya.
Jadi apa yang kurang dari Indonesia sebagai sebuah bangsa?
Hati saya tersayat-sayat sembilu ketika seorang kawan bercerita di salah sebuah asrama TKW di Johor ini diadakan acara nonton bareng. Jangan bayangkan nonton bareng film Ayat-Ayat Cinta atau sekuelnya Ketika Cinta Bertasbih. Film yang ditunggu-tunggu oleh banyak penghuni hostel tersebut adalah video hubungan intim kedua artis , yang mereka dapatkan dari tangan ke tangan.
Tak perlu MC atau narrator, detik demi detik berlalu di tengah gemuruh napas yang menonton dan ditonton. Apa yang nampak di layar kaca seperti suguhan yang menghipnotis dan menyedot habis energi dan emosi. Setiap senti kulit dua makhluk itu tak luput dari tatapan sekaligus geliat yang tak akan hilang dari bayangan.
Duh Gusti….
Mereka yang nonton itu adalah saudari-saudari kita, Ada yang sudah beranak pinak. Ada juga yang menanti lamaran sang kekasih. Pun ada juga yang baru tamat sekolah. Ujung-ujungnya sms berdering menanyakan apakah harus mandi junub setelah menonton film tersebut?
Dari lisan yang sama terungkaplah bahwa acara nonton bareng seperti itu sudah menjadi kebiasaan dan bukanlah sesuatu yang tabu.
Hati saya mengetuk perlahan. Seiring dengan lemasnya aliran darah saya. Saya menangis! Menangisi kekerdilan diri yang tak mampu berbuat apa-apa untuk menghalang gerombolan para penantang Allah!
Di hadapan kita selama ini, setiap detik tersaji berita dan peristiwa betapa para penantang Tuhan dengan gagahnya berkoar-koar. Pelaku perzinahan dengan penuh percaya diri mengelak disalahkan dan membela diri bahwa apa yang dia lakukan adalah hak asasi manusia. Beberapa diantaranya berdalih melakukan demi seni. Seni atau air seni?
Ya, mungkin lebih tepat adalah air seni. Para lelaki yang membuang sembarangan air seninya dan para wanita menjadi tempat pembuangan air kencingnya. Bukan cinta, bukan kasih atau hak asasi. Hanya sekedar kebelet kencing….
Bibir sayapun terkunci. Haruskah mandi besar? Dan setelah itu mengulang lagi dan lagi? Saya tak sanggup berujar apa-apa. Apa yang salah? Apa yang tidak betul dengan masyarakat ini? Bibir saya terkunci rapat.
Saya meraba hati saya sendiri. Jika saya jadi pria dalam video itu, apa yang akan saya pesankan kepada anak lelaki saya? Apakah saya masih sanggup berwasiat kepadanya untuk menjadi lelaki sejati yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia? Hati saya tergetar. Kepada anak gadis saya, apakah saya masih berani mewanti-wanti agar menjaga kehormatan diri?
Hati saya berdegup kencang. Seandainya saya wanita dalam video itu, apa yang akan saya sampaikan kepada ibunda saya jika beliau bertanya tentang kesucian dan harga diri? Apa yang akan saya janjikan kepada suami saya kelak jika dia bersedia sehidup semati dengan saya? Dan kepada anak-anak yang akan terlahir dari rahim saya. Apa yang bisa saya banggakan di hadapan mereka? Jika anak laki-laki saya meminta nasihat sebagai pegangan hidupnya, apa yang akan saya wasiatkan? Dan apabila anak dara saya mengharap wejangan sebagai pegangan hidup, apa yang sanggup saya ucapkan dari lisan yang sudah tercemar ini?
Wahai diri, kepada ribuan atau mungkin lebih banyak lagi pasang mata yang menatap tanpa berkedip pada auratmu, apa yang akan engkau sampaikan? Kepada mereka yang terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, apa pembelaanmu? Apa? Apa?
Dialog itu terus berkecamuk dalam diri saya. Saya mohon ampun kepada Allah atas kelemahan ini. Barisan para penentang dan penantang Allah semakin banyak dan beratur rapi. Kewajiban saya juga untuk terus memperbanyak barisan para pejuang-NYA… Kewajiban kita bersama untuk menyelamatkan peradaban anak cucu kita…
Al Faqir ilaLlaah,