Suatu ketika dahulu waktu masih kuliah di Surabaya, ada seorang kakak tingkat yang menjadi pembicara di acara kemahasiswaan berujar soal pernikahan. Kakak satu ini handsome dan good looking. Soleh lagi. Tentu saja menjadi dambaan kawan-kawan putri yang walaupun tersembunyi rapat dalam hati, tetap menyiratkan ketertarikan. Si kakak tingkat ini menukil tulisan dalam buku Jalan Ruhani karya Said Hawwa. Katanya, dalam pernikahan itu kenikmatannya hanya 2%. Selebihnya adalah tanggung jawab. Ya, tanggung jawab! Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga saya hingga kini setelah lebih dari sepuluh tahun masa itu berlalu.
Kalau kita perhatikan, seorang wanita ketika memutuskan untuk menikah maka berarti ia sudah bersiap sedia menyerahkan semua potensi dirinya untuk menjadi istri dan ibu. Dia mendedikasikan diri sepenuhnya untuk berkhidmat kepada keluarganya. Begitupun, kalau kita perhatikan, jika seorang pria memilih untuk mengakhiri masa lajangnya maka ia berkomitmen untuk bersungguh-sungguh menjaga dan memimpin biduk rumah tangganya dengan sebaik-baiknya. Maka dengan penuh tanggungjawab mereka menjalani hari-hari dalam kehidupan mereka hingga takdir Allah menjemputnya.
Seiring dengan waktu, mungkin makna pernikahan bisa berubah. Terkikis oleh waktu. Terasah oleh pengalaman hidup atau terpanggang dengan kebosanan. Dan itu pula yang pernah saya jumpai. Pernikahan, baik yang pertama atau sesudahnya, tak jarang menjadi bahan guyonan.
Guyon atau becanda memang penting. Ia ibarat garam dalam makanan. Sangat diperlukan tapi dengan kadar yang terbatas. Tak boleh berlebihan karena akan merusak kelezatan makanan, pun tak boleh terlalu sedikit karena akan membuat rasa menjadi hambar. Begitu pula dalam berumahtangga, becanda memegang peranan penting untuk menghidupkan suasana dan merekat cinta diantara suami istri. Tapi ya itu tadi, dalam kadar yang terbatas. Tak boleh terlalu vulgar namun juga jangan terlalu pelit becanda.
Nah, bagaimana perasaan anda ketika menjumpai para suami duduk-duduk bergerombol di gardu pos kamling sambil bersendau gurau. Tawa terdengar membahana dan saling melempar joke-joke segar. Suara bergemuruh saling menimpali. Usut punya usut, yang menjadi topik segar tadi adalah soal ‘kawin lagi’! sepertinya punya istri banyak itu nikmat banget, bisa dilayani berganti-ganti perempuan. Punya istri banyak seolah simbol kehebatan dan kebanggaan. Di lain tempat, para suami yang nampak soleh dan malu-malu kalau ketemu akhwat ternyata bisa sangat ramah dan manis berchatting ria dan saling tukar pesan di dinding facebook. Lagi-lagi, topiknya soal istri kedua. Bahkan tak jarang bersambung episode via sms. Mungkin awalnya iseng. Atau coba-coba ngetes. Bisa juga sebagai penawar kebosanan di sela-sela rutinitas keseharian. Atau bisa jadi dianggap sebagai kelaziman, bahwa seks dan perempuan adalah bahan pembicaraan yang biasa diobrolkan para lelaki sebagai guyonan.
Pernah sesekali saya terpekur. Kok yo nelongso jadi perempuan… sehebat-hebatnya perempuan mesti harus mau diatur sama suami. Sepinter-pinternya perempuan ya harus tawadlu dengan suami. Sebaik-baiknya perempuan yo harus suaminya lebih baik. Iya kalau suaminya penuh tanggung jawab seperti tulisan Said Hawwa itu. Lha kalo suka guyon soal kawin lagi? Apalagi kalo yang nganggep istrinya bahan guyonan? Wah, berabe tuh!
Diam-diam saya menata hati. Saya memantapkan diri dengan janji Allah,”Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik…Lelaki soleh untuk perempuan solehah…”
Maka saya berazam untuk terus menyibukkan diri agar menjadi wanita solehah yang dengan karenanya Allah akan pasangkan saya dengan lelaki soleh. Dan jika suatu saat saya menjumpai suami saya asyik chatting dengan teman-teman perempuannya atau guyon soal kawin lagi dengan kawan-kawan akrabnya, maka sayapun siap-siap mengadu dengan Sang Pemberi Hidup,”Rabbku, lihatlah! Saksikan….”