Bulan Desember adalah akhir tahun Masehi. Bagiku, selalu ada kesan dengan bulan keduabelas ini. Entahlah, apakah itu kesan sedih atau bahagia. Rasanya, sudah beberapa kali bulan Desember, aku selalu berhadapan dengan situasi yang mesti mengajariku lebih bersikap dewasa. Pun juga dengan bulan Desember tahun ini. Ada tiga ujian yang mesti dipersiapkan di bulan Desember 2008. Ketiganya dalam rentang waktu yang sangat berdekatan. Ujian kemampuan bahasa Jepang, ujian masuk universitas dan ujian kanji di kelas bahasa Jepang. Lelah, tentu saja. Belum lagi mesti beradaptasi dengan suhu sekitar sepuluh derajat di negeri Sakura, yang tentu saja tidak pernah aku jumpai di Indonesia yang melimpah sinar mataharinya. Tapi, sebuah tausyiah di sebuah pengajian di Chiba selalu menyemangati: bersyukurlah dengan apapun.
Kadang sempat terlintas pikiran untuk menyerah. Rasanya begitu menyenangkan berada di tengah cinta keluarga besar. Juga merenda hari-hari berdekatan dengan suami tercinta. Tapi, rasanya pilihan itu adalah salah. Islam selalu mengajari untuk bersikap optimis. Mesti ada kemudahan setelah kesukaran. Insya Allah akan ada pertolongan Allah untuk hamba-hambaNya yang berusaha dengan cara yang terbaik.
Dan, sebuah sms dari suami membuatku lebih tersadar. Hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Bertepatan dengan pergantian tahun baru Hijriyah. Dari 1429 H ke 1430 H. Sebuah ucapan selamat tahun baru 1430 H juga mampir di inbox smsku. Dari suamiku. Dan kemudian selang beberapa menit, beliau mengsms lagi. Kali ini tentang kondisi Palestina. Ternyata, di pergantian tahun baru Hijriyah ini, Palestina kembali berduka. Serangan zionis Israel kembali menggempur jalur Gaza. Untuk sebuah peringatan: Hari Raya Yahudi Shavuot. Ah, Palestina. Dukamu sudah bertahun-tahun lamanya. Dan, entahlah sampai kapan duka itu akan berganti dengan senyum kebahagiaan. Untuk sebuah kemerdekaan bagi saudara-saudara seiman di negeri itu. Hanya Allah yang begitu Maha Mengetahui, kapan perjuangan maha berat itu akan berakhir. Sudah banyak yang terkorbankan di negeri itu. Harta dan nyawa. Bahkan juga air mata dan darah.
Mengenang Palestina, membuat semua beban terasa ringan. Jejak langkah-langkahpun semakin mudah. Seberat apapun berat yang dipikul di pundak, tidak pernah melebihi beban Palestina. Duka Palestina begitu dalam. Duka Palestina sudah mengakar. Dan tidak pernah duka Palestina membuat penjajahan berhenti, bahkan mereka berbuat lebih sehingga duka Palestina semakin dalam. Tidak terbayang rasanya kehilangan orang-orang yang dicintai di di depan mata, bahkan dengan tetesan darah segar yang masih mengalir. Tidak kuat rasanya melihat tangisan air mata anak-anak kecil yang kehilangan pegangan karena nyawa ayah dan bundanya telah direnggut paksa. Juga seperti apakah rasanya mendengar dentuman bom, mesiu, ranjau, dan suara senapan bertalu-talu memenuhi gendang telinga.
Dan ketika suami meminta ijin memberikan sesuatu untuk Palestina, rasanya sangat sedikit yang baru bisa diberikan untuk Palestina. Bahkan, doapun kadang lalai terucapkan. Tapi, Palestina memang tidak meminta lebih. Bahkan, Palestina mengajari banyak hal: ketegaran, pengharapan dan optimisme. Palestina, maafkan kami yang kadang lalai denganmu. Bahkan, juga untuk untaian-untaian doa untuk keselamatan dan kemerdekaanmu. Tapi, engkau tetap berada di hati kami. Untuk sedikit yang baru bisa kami berikan.
@dormitory, Inage, Desember 2008
Mengenang Palestina di suatu saat