“Pak Herman, gimana nih, Pak?”
Pak Suherman Rosyidi, dosen Fakultas Ekonomi Unair yang tetangga saya itu menoleh kepada asal suara. Dua orang sekretaris Dekan menegurnya di pintu masuk ruang itu. Keduanya perempuan. Seorang, sebut saja Bu A sudah memiliki 3 orang anak. Dan Bu B sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak.
“Gimana apanya, Bu?” tanya Pak Herman pada mereka.
“Gimana kok Aa’ Gym menikah lagi, Pak?” keluh Bu A. “Kenapa mesti poligami?”
Pak Herman tersenyum. Kalau ada masalah-masalah seperti ini, anggota Dewan Ekonomi Syariah itu memang biasa menjadi “jujugan”. Tempat bertanya atau mengadu. Beliau kemudian menghampiri kedua ibu muda itu.
“Begini, Bu,” kata Pak Herman. “Coba jawab pertanyaan saya dengan jujur dan ikhlas, dari hati nurani ibu yang paling dalam.”
“Apa itu, Pak?” sergah Bu B.
“Tolong pilih satu di antara dua,” kata Pak Herman berteka-teki. “Kalau ibu disuruh memilih, antara: merelakan suami ibu menikah lagi atau merelakan suami ibu melacur, ibu pilih yang mana?”
Kedua wanita itu terperanjat seperti mendapatkan pertanyaan yang tak pernah didengar sekalipun selama hidupnya.
”Kok pertanyaannya seperti itu, Pak?” protes Ibu A.
“Saya tak memilih dua-duanya, Pak!” tegas Ibu B.
“Ok. Ok,” potong Pak Herman. “Jikalau pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab, pertanyaannya saya ganti.”
“Diganti gimana, Pak?”
“Saya ganti begini,” lanjut Pak Herman. “Jikalau ada seorang isteri diberikan pilihan — bukan Anda berdua, lho? — yaitu merelakan suaminya menikah lagi atau merelakan suaminya melacur, kira-kira isteri itu milih yang mana?”
Kedua ibu itu saling berpandangan. Keraguan segera merayap dalam senyap. Pak Herman sendiri dengan sabar menunggu. Dan dalam sepuluh-lima belas detik kemudian, seseorang menjawab.
“Ya, pilih suami menikah lagi, Pak?” kata Bu A sambil melirik, mengharap dukungan Bu B di sebelahnya. “Bukan begitu, Bu?”
Bu B mengangguk-angguk. “Ya, gimana lagi kalau pilihannya hanya itu.”
“Alhamdulillah,” jawab Pak Herman. “Ibu-ibu ternyata masih bersih.”
“Masih bersih gimana, Pak?” tanya keduanya hampir berbarengan.
“Ibu-ibu masih bersih,” jelas dosen itu. “Masih bisa membedakan antara yang benar dan yang bathil. Antara yang halal dan yang haram.”
***
“Saya heran sama orang Indonesia, Pak Herman!” seru Bu Icy dengan logat Amerikanya yang tak bisa dihilangkan.
“Heran gimana, Bu?” tanya Pak Herman pada temannya yang sesama dosen itu. Sudah berbilang tahun wanita itu mengajar di kampus ini sejak ia menikah dengan orang Indonesia asli.
“Mengapa mereka menolak poligami yang nyata-nyata ada dan dibolehkan di dalam Islam?” tanyanya sungguh.
Pak Herman sejenak tersentak. Bagaimanapun yang ada di hadapannya itu adalah wanita Barat. Bukan muslimat lagi. Ia penganut Kristen. “Menurut Ibu, apa yang menyebabkan mereka seperti itu?”
“Masalahnya sudah jelas, Pak Herman. Kalian, orang Indonesia, sudah terkontaminasi dengan apa yang datang dari Barat.”
“Apa itu?”
“Kapitalisme!”
“Kapitalisme?”
“Ya. Sebuah pandangan yang menganggap segala yang dipunya sebagai ‘milik’. Suami saya adalah milik saya. Bukan dan tak akan menjadi milik wanita lain. Tak logis dalam benak mereka untuk berbagi suami dengan orang lain. Itulah ruh kapitalisme, Pak.”
Pak Herman manggut-manggut. Tak dinyana, perempuan “barat” itu punya pendapat sedemikian. Ia memang telah banyak belajar tentang Islam, meski sayang belum memeluknya hingga sekarang.
“Sedangkan dalam pandangan Islam, semua yang ada ini ‘kan milik Tuhan?” lanjut wanita itu. “Sehingga, berbagi dalam Islam adalah sesuatu yang common-sense.”
Pak Herman kemudian bertanya, “Lantas menurut Ibu, apa masalahnya dengan penolakan poligami?”
“Masalahnya, Pak, ketika pintu poligami ditutup,” kata wanita asing itu, “maka pintu pelacuran akan terbuka lebar-lebar.”
***
Itulah pengantar perbincangan seputar poligami oleh Ust. Suherman Rosyidi – kami memanggil beliau Pak Herman — di Masjid Rungkut Jaya Ahad pagi ini. Agaknya fenomena heboh Aa’ Gym yang menikah lagi itu turut menghangatkan beranda masjid ini setelah diguyur hujan semalam.
“Kalau saya baca press release Aa’ Gym awal Desember lalu,” kata saya turut menanggapi, “sebenarnya ada 4 calon yang diajukan Aa’ Gym sebagai isteri kedua. Satu, gadis. Kedua, janda tanpa anak. Ketiga, janda dengan cukup banyak anak. Dan keempat, nenek-nenek gampang masuk angin.”
Hadirin tersenyum. Saya berusaha menahan diri.
“Aa’ Gym sebenarnya sudah memilih yang ketiga, janda dengan cukup banyak anak,” kata saya melanjutkan. “Hanya saja, ia mantan model. Sebagaimana banyak laki-laki yang poligami, biasanya isteri keduanya adalah seorang gadis, lebih muda dan cantik ketimbang isteri pertama. Coba jika seandainya Aa’ Gym memilih calon yang keempat, pasti tidak akan terjadi kehebohan seperti ini, Pak!”
Gerr. Dan Ust. Herman pun tersenyum. “Tetapi, apa salahnya Aa’ Gym memilih janda dengan sekian anak?” tanyanya kepada hadirin seakan ingin mendapat jawaban. “Apa salahnya jika janda itu mantan model? Apa salahnya juga jika seandainya dia memilih seorang gadis sebagai isteri kedua?”
“Bukankah Rasul setelah Khadijah meninggal mengambil Saudah, seorang janda yang sudah sangat tua umurnya, menjadi isteri keduanya, Pak?” sergah saya.
“Apakah serta-merta kita harus mencontohnya demikian pula?” jawab Pak Herman. “Juga apakah kita harus menunggu isteri pertama kita meninggal sebelum menikah lagi, sebagaimana Rasul baru menikah lagi setelah Khadijah meninggal?”
Saya termangu. Jamaah yang lain pun tepekur di tempat duduknya masing-masing.
“Tentu tidak,” lanjut Pak Herman. “Abu Bakar, Umar, Usman dan para sahabat yang lain tidak menunggu isteri pertama mereka meninggal dulu untuk melakukan poligami.”
***
“Fenomena Aa’ Gym ini persis seperti peristiwa penyembelihan Ismail as oleh Nabi Ibrahim as,” simpul Pak Edy sambil menyelonjorkan kaki di beranda masjid. Ceramah shubuh oleh Pak Herman baru saja usai.
“Fenomena apa itu, Pak?” tanya saya.
“Ujian cinta!” katanya penuh misteri.
“Ujian cinta bagaimana?”
“Ya. Nabi Ibrahim diuji oleh Allah, mana yang lebih dicinta: Ismail, anak yang kelahirannya didambanya berpuluh tahun ataukah Allah SWT?”
Saya dan beberapa jamaah yang masih bertahan di beranda manggut-manggut.
“Demikian juga dengan poligami Aa’ Gym,” katanya melanjutkan. “Jika jamaah Aa’ Gym begitu saja meninggalkan pengajian MQ ketika tahu Aa’ menikah lagi, itu berarti mereka selama ini datang mendengarkan taushiyah hanya karena Aa’ Gym. Cinta mereka sebatas hanya kepada Aa’ Gym. Tak lebih. Cinta mereka bukan kecintaan yang tulus kepada Allah.”
“Betul juga, sampean. Lantas apa hubungannya dengan Nabi Ibrahim dan Ismail?”
“Peristiwa poligami Aa’ Gym ini seperti penyembelihan Ibrahim atas Ismail, yakni pemisahan antara yang benar-benar cinta kepada Allah dan yang sekadar cinta kepada manusia. Entah cinta kepada seorang anak. Ataukah cinta kepada seorang pendakwah.”
Saya setuju dengan tetangga saya itu. Saya juga sependapat dengan Ibu Sirikit Syah sebagaimana tulisannya di Jawa Pos 13 Desember 2006 yang lalu. Barangkali dengan peristiwa ini Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa Aa’ Gym bukanlah ‘dewa’. Justru karenanya Ia telah menyelamatkan kita dari “cinta yang salah”.
Dan di sisi lain, kita akan tersadarkan bahwa dai kondang itu ternyata manusia biasa seperti kita.
Wa Allahu a’lam
***
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com