eramuslim – Nicodemus (32) dan Abdul Rohim (23), Anda pasti tak mengenalnya. Seperti saya, sebelum media-media massa hari ini memberitakan jatuhnya Gondola seberat 2 ton yang membawa dua lelaki naas itu saat sedang melakukan aktifitas rutinnya membersihkan kaca Gedung Bank Indonesia (BI). Jatuh dari lantai 13 dan terhempas di lantai 5 bersama dengan benda seberat 2 ton di gedung tersebut, jelas membuat keluarga Nicodemus dan Rohim menangis kehilangan orang yang dicintainya.
Setelah kejadian naas tersebut, seolah dua nama tersebut dikenal orang, meski dalam waktu sepekan bisa dipastikan sudah hilang oleh derasnya arus informasi di kota sebesar Jakarta ini. Saya, seperti juga Anda tak pernah mengenal dua lelaki itu, bahkan bisa jadi sebagian besar pegawai BI pun tak pernah mengenalnya meski hampir setiap hari mereka hadir dan melakukan sesuatu untuk (gedung) mereka. Mungkin diantara mereka ada yang berkata: “Ya Allah, kasihan sekali” atau “oooh… itu yang namanya Nico dan Rohim”. Dan bisa jadi ada yang bertanya, “Yang mana sih, koq saya nggak pernah tahu”.
Ada dua hal mutlak yang ada pada diri manusia, pertama, waktu yang dimiliki manusia itu terbatas. Dan kedua, manusia yang satu tidak akan pernah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Bahwa waktu yang kita miliki itu terbatas itu suatu kemutlakan yang tidak bisa dibantah. Bukan hanya dalam hitungan jam yang tidak pernah lebih dari menjadi 25 jam perhari, tetapi lebih jauh dari itu, setiap manusia semestinya menyadari batas waktu yang diberikan oleh Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang akan hidup kekal, seperti halnya bumi tempat kita berpijak ini pun akan hancur pada masa akhir nanti.
Kemutlakan kedua, setiap manusia sebenarnya tak bisa membantah hal ini, namun terkadang tidak sedikit yang menafikan keberadaan, keterlibatan maupun partisipasi manusia lain dalam setiap kesuksesan, prestasi, keberhasilan dan kemenangan yang diraihnya. Nah, kaitannya dengan kemutlakan kedua inilah sedianya setiap kita menyadari status manusia sebagai makhluk sosial yang –setidaknya- telah teringankan sebagian besar beban hidup ini dengan adanya manusia yang lain.
Seperti Nico dan Rohim yang setiap hari membantu orang lain menjadikan pemandangan keluar melalui jendela kantor Bank Indonesia tidak nampak kusam. Bayangkan jika tidak ada orang seperti mereka yang mau menanggung resiko terjatuh dari lantai 13. Begitu juga dengan para office boy yang sudah menyiapkan teh atau kopi panas di meja kerja bahkan sebelum sempat kita duduk. Bagaimana dengan para pembantu rumah tangga yang setiap hari melayani kebutuhan Anda dan keluarga, terbangun lebih awal dan tidur paling akhir. Mungkin kita bisa berkilah, karena telah membayar keringat mereka, selain juga mereka yang membutuhkan pekerjaan itu. Bahkan ada yang cukup sarkas menganggap bahwa sudah nasib mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Nico dan Rohim, para office boy, pembantu rumah tangga kita, tukang sampah yang mengangkut sampah dari rumah, sopir bus ataupun sopir pribadi, mereka mungkin tak pernah berharap tips, imbalan atau bonus lain dari apa yang sudah menjadi hak mereka. Mereka tak pernah iri dengan kenaikan gaji atau pangkat kita, tak pernah bermimpi suatu saat tak lagi menghidangkan teh atau kopi panas karena mereka sangat sadar betapa berbedanya mereka dengan kita. Tak pernah terbersit dalam benak para pembantu kita akan menjadi majikan yang kerap dilayani. Tapi, apakah kita pernah menghargai kerja mereka? Bahkan sekedar mengucapkan terima kasih. Ketinggian jabatan, pakaian yang bagus dan mobil mentereng, juga status sebagai majikan, bukan alasan untuk tak sekedar mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa mereka. Sungguh, sebagian dari kita ternyata sudah membuktikan, ucapan terima kasih yang tulus kita alamatkan kepada mereka atas setiap pelayanannya, cukup membuat mereka tersanjung dan merasa diri sebagai manusia yang utuh. Dan buat kita, jangan kaget jika hanya karena ucapan ringan itu kualitas pelayanan dan pengabdian mereka kepada kita akan lebih meningkat.
Tapi sayang, sebagian kita memang egois dan tak tahu rasa bersyukur. Bahkan sampai orang-orang ‘kecil’ yang telah banyak membantu kita itu telah menemui kemutlakan pertama, kita tak pernah menyapa mereka dengan kasih sayang. Masih ingatkah kita terhadap pembantu rumah tangga yang pernah sekian tahun mengabdi? Dimana mereka sekarang? Masih hidupkah mereka? (Bayu Gautama)