Ia adalah sosok lelaki biasa, umurnya saya tidak tau persis, kira-kira 45 tahun. Orang-orang memanggilnya dengan nama Bang Leman, mungkin nama aslinya Sulaiman, tapi entah lah saya tidak pernah menanyakannya. Dulu rumahnya lumayan jauh dengan saya, tapi sejak saya pindah kini ia jadi tetangga saya.
Yang saya tahu sejak saya SD ia sudah berkeliling berjualan mie ayam meski tak lewat depan rumah saya, saya termasuk pelanggan setianya. Saya senang makan mie ayamnya karena enak dan tidak mahal. Sebenarnya ada alasan lain juga sih, kadang kalo saya beli mie ayamnya sering dikasih lebih, kalo beli 2 bungkus eh dibikinin jadi 3 bungkus. Saya juga kadang suka tidak enak dengan kebaikannya tapi memang orangnya begitu, tidak hanya dengan saya dia berjualan dengan cara seperti itu, dengan orang lain yang dia kenal baik juga umumnya begitu. Makanya dengan kebaikannya itu pelanggannya semakin bertambah.
Orangnya ramah dan mudah akrab dengan orang lain, kadang kepada orang lain yang dikenal tanpa sungkan ia menawarkan dagangannya, bukan menawarkan untuk menjual dagangannya tapi menawarkan tulus bukan untuk mendapatkan bayaran. Mungkin kesannya basa-basi tapi buat saya tawaran ia begitu tulus. Tak heran walaupun agak jauh dari rumah saya tapi saya bela-belain ke rumahnya atau menunggunya di tempat biasa ia mangkal untuk membeli dagangannya.
Ujian dari Allah menerpanya. Sejak tahun 2006 ia terserang stroke ringan. Praktis usahanya berhenti, berbulan-bulan ia berkutat dengan penyakitnya, mencoba berbagai pengobatan alternatif. Saya sempat menjenguknya dan kondisinya memang menyedihkan. Ia masih sulit berjalan karena otot kakinya kaku. Untuk menopang ekonomi rumah tangganya sehari-hari anak-anaknya bekerja serabutan, anak sulungnya bahkan ada yang ke Kalimantan untuk bekerja di sana.
Alhamdulillah sepertinya Allah memberikan kecukupan pada keluarga ini, meski mendapat cobaan ia tetap menjaga izzahnya, ia tidak meminta-minta atau mengharap belas kasihan orang lain, belas kasihan orang-orang yang dulu ia tawari mie ayam dengan tulus tanpa membayar.
Alhamdulillah Tahun 2007 kondisinya sudah membaik, ia mulai bisa berjalan meski masih tertatih-tatih. Tak mau bergantung dengan orang lain dan tak mau menyusahkan anak-anaknya, ia memilih membuka usaha warung kelontong di halaman rumahnya yang asri. Saya sering melihatnya melewati jalan di dekat rumah saya untuk pergi belanja kebutuhan warungnya. Ia senang bisa jalan kaki hampir tiap hari pergi belanja dan sekalian untuk terapi penyembuhan penyakitnya, begitu katanya.
Kini orang baik itu telah menjadi tetangga saya. Aktivitasnya yang kebanyakan di rumah membuat ia semakin dekat dengan Allah. Kini ia tidak perlu berangkat ke pasar di pagi buta, justru aktivitasnya adalah membangunkan orang lain untuk sholat subuh.
Ya betul ia kini menjadi "muadzin tetap" sholat shubuh bahkan hampir di setiap waktu sholat di musholla dekat rumahnya. Ia tidak perlu lagi berkeliling kampung menjajakan dagangannya, tapi Insya Allah orang sekampung akan mendatangi warungnya untuk berbelanja. Ia tidak perlu lagi mendorong gerobaknya di tengah teriknya mentari, ia cukup duduk di warungnya ditemani isteri tercintanya sambil mengaji.
Sungguh Allah telah memberikan hikmah yang manis di balik setiap ujian yang Ia berikan.