Tujuh Tahun Bersamamu

Lucu kita ya. Lupa ultah perkawinan. Huhuhu, parah. Padahal biasanya Ayah selalu ingat, dan seperti biasa Bunda yang selalu canggung untuk bersikap romantis ini selalu lupa. Walopun jauh-jauh hari udah keep reminding herself untuk mengingat tanggal keramat yang dulu melambungkan kalbunya ke langit ke tujuh. Halah.

Ayah bilang: Selamat ya, pas kita chat di YM.

Bunda bilang: Haa? Selamat apa?

Lalu kita ketik dalam waktu yang bersamaan:

Ayah: Itu, kan Aysar ada yang jemputin, jadi Bunda hari ini ngga repot jemput (nah kan, brarti Ayah lupa)

Bunda: Oyaa. Kan hari ini our anniversary. Eh kemaren ding. Kok Ayah lupa, tumben.. ^.^v

Ayah: Yaa, Ayah kan sibuk bener. Senin depan prasidang. Jadi lupa deh. Padahal kalo ada yang ultah biasanya Ayah yang paling ingat. Doain ya buat prasidang Ayah yaa.

Ok, that’s enough. Sisanya ngga lolos sensor. Hahaha. Private gitu lho!

Ya sudahlah Sayang, ngga masalah sih buatku kalopun kita lupa (soalnya sendirinya sering lupa haha). Yang penting Ayah ngga lupa kalo udah punya istri (lho?!) :D

Tiap anniversary, tiap tahun, tanggal ini selalu bisa membuatku memutar ulang film kehidupan kita. Bagaimana kita diperkenalkan di YM oleh sobat muda kita, Nunus. Asli, sampe sekarang Bunda masih curiga, motivasi apa yang bikin Nunus memperkenalkan Ayah padaku dulu. Jangan-jangan dia ngefan sama aku lagi, huhuhu. Jadi, dia pikir daku worthed buat sobat yang dianggapnya abang dia sendiri. Ge er pol wes! :p

Chat yang berisi diskusi-diskusi sok serius (hehehe) berisi eyel-eyelan. Sampai daku terpaksa men-judge dirimu egois dalam salah satu diskusi kita. Bahwa dengan chat via YM kita bisa melihat apakah seorang teman bisa sabar menunggu teman chatnya membalas dulu sebelum ngetik lagi kalimat berikutnya. Those moments benar-benar lucu dan tak terlupakan Sayang.

Sampai tiba saatnya diriku merasakan getar-getar aneh yang tak kusadari kapan datangnya. Tiba-tiba aja aku sudah merasa butuh. Virus merah jambu sudah menjeratku, dan sepertinya kamu juga, saat itu. Hanya saja, kita masih selalu jaim (jaga image). Sampe akhirnya 6 bulan setelah chat pertama kita, kau kirimkan imel itu, deklarasi perasaanmu. Imel yang membuatku jingkrak-jingkrak kayak orgil. Ya, aku gila, tergila-gila tepatnya. Dan kau sangat manis, menyerahkan semua keputusan padaku.

Apakah lalu kita pacaran? Huaa, ngga lah yaw. Walaupun dengan nuansa merah jambu yang menyandera seluruh inderaku, aku masih bisa memilih yang benar. Kuberikan pilihan padamu: lamar aku untuk menikah (iya laah, masa lamar untuk kerja sih :P) atau sementara kita harus berhenti komunikasi dulu, via apapun, sampai cinta itu bisa netral lagi, mungkin. Hmm, berapa kali kita kopi darat sebelum itu ya Say? 4 atau 5? Mungkin Nunus lebih ingat, kan doi jadi satpamnya :D (atau obat nyamuk ya??)

Lalu dikau minta waktu sebulan. Untuk apa Say? Semedi ya? Nunggu wangsit? Ooo ternyata kamu perlu koordinasi dengan kru inti keluarga Ilyas, wow! Keluarga yang kompak, I said.

Akhir Januari, menjelang Februari mengenalmu. Lalu enam bulan kemudian deklarasi itu. Lalu Desember kita menikah. Sempat membuatku beradu argumen dengan Bapak yang lebih setuju kalo aku selesaiin kuliah dulu. Tapi untung banget, Bapak ngga tahan sama airmata anaknya yang udah pengen nikah. ^,^v

Hidup bersamamu yang koleris melankolis adalah hal yang membuatku yang sanguin ini kudu wajib mau ngga mau harus meredam semua egoisme dan ambisi (kayak punya ambisi aja huhuhu). Menunggumu pulang dari Madura (saat itu kita masih numpang di Pondok Mertua Indah) adalah saat yang mendebarkan. Dalam arti romantis? Sama sekali bukan. Aku selalu takut ada yang salah. Kamu yang perfeksionis, ngga boleh liat hal salah sedikitpun. Kalo ngga hal kecil pun bisa membuat ceramahmu mulai melantun. Tapi syukur alhamdulillah, semua itu membuatku yang super malas, ngga rapi, dan ngga sistematis bisa belajar sedikit demi sedikit menyamai ritmemu. Memperbaiki hidupku sendiri.

Ternyata bener banget bahwa menikah itu menyempurnakan agama. Karena dalam sebuah pernikahan kita akan teruuus belajar, memperbaiki diri secara kontinyu. Memahami pasangan, mentolerir pasangan, belajar jadi istri, jadi wanita, belajar jadi ibu, jadi orang tua, yang semua itu ngga pernah diajarkan di sekolah atau kampus.

Bukan tanpa ujian biduk kita berjalan ya Say :) Mengingat semua hal yang pernah membuat kita di titik yang sangat kritis dulu, membuatku makin bersyukur dan juga bangga atas usaha dan pencapaian kita ini.

Teruslah kita saling membantu untuk memompa kesabaran ya Kang Mas. Agar Allah makin ridha sama kita. Agar kita bisa bersatu dalam surgaNya kelak.

With Love,
Yours, (hopefully) forever