Sumiati wanita cantik berusia 23 tahun, warga Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat yang menjadi TKW dan baru berangkat pada bulan Juli 2010 harus mengalami penganiayaan diluar batas-batas kemanusiaan di Arab Saudi. Istri majikan tega menggunting bibirnya, menyetrika, memukul bahkan menyetrum Sumiati yang dianggap tidak mengerti pekerjaan rumah dan tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Membandingkan antar kisah Sumiati dengan khodimat temanku rasanya ada sedikit persamaan (sama-sama kecewa). Dimana suatu saat suami berbincang ringan dengan temannya yang kebetulan sering ganti pembantu. Berganti pembantu dalam waktu relatif singkat itu sudah hal biasa dalam rumah tangganya.
Ia bercerita istrinya sering mengeluh terus tentang “si mba” ini, yang katanya gak ngerti kerjaan lah, gak inisiatif, kurang rajin dsb. Sebenarnya si suami ini lelah juga mendengar keluhan dari si istri ini. Dengan santainya si suami ini menanggapi keluhan istri begini “Umi, seumpama pembantu kita lulusan sarjana, trus dia pinter dan cerdas, tidak akan saya jadikan dia sebagai pembantu, akan saya angkat dia sebagai istri”. He..he.. si istri (yang kebetulan masih temanku) langsung diam, sambil senyum-senyum.
Atau yang kami alami sendiri. Kebetulan kami memiliki khodimat yang kebetulan pendengarannya agak kurang. Sehingga ketika berbicara saya harus menepuk pundaknya dan berbicara dengan jarak agak dekat, agar gerak mulut saya terlihat olehnya. Atau pula saya sering sms ke hapenya (biasalah untuk menanyakan kabar anak-anak dirumah) tapi tak pernah berbalas. Ternyata suatu saat si mba ini pernah mendapatkan sms dari keluarganya kemudian minta tolong dibacakan oleh keponakan saya. Hi..hi…owalah jadi ternyata si mba ini tak bisa membaca toch…
Ya itulah dinamika pembantu, dengan segala keluguan, kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki kita harus belajar berlapang dada. Syukur Alhamdulillah bila kita mampu menutupinya. Saya bersyukur memiliki pembantu yang memiliki kekurangan, sehingga tidak akan khawatir “si mba” akan naik pangkat menyaingi saya, sebagaimana yang diungkapkan oleh suami temanku tersebut. Dan saya pun sangat bersyukur dibalik segala kekurangannya ia memiliki kelebihan dan memenuhi kriteria yang saya harapkan, dimana ketiga kriteria ini senantiasa saya selipkan ditiap bait do’a , yaitu “Semoga Allah mengkaruniakan kami khodimat yang Sholat, Amanah dan Sabar. Jika ketiga syarat ini sudah ada, segala kekurangan yang ada padanya kami akan “menutup mata”.
Prinsipnya meskipun kita berkantong tebal, mampu menggaji mereka dengan harga tinggi, tetap saja kita tidak bisa “membeli” hati mereka untuk sabar dan sayang terhadap anak-anak kita. Hanya kepada Allah lah kita meminta, agar hati mereka “terbeli” dengan do’a yang kita panjatkan, sehingga merekapun cenderung dengan nilai-nilai kebaikan. Toh jika dibandingkan dengan saya pribadi sebagai seorang istri pun banyak sekali memiliki kekurangan, tak usahlah menuntut pembantu untuk perfect-perfect amat, karena memang mereka kita hadirkan dalam rumah tangga untuk “sekedar membantu”…
Kembali ke kisah Sumiati, bisa jadi pengguna jasa (majikan) sumiati kecewa karena mendapatkan Sumiati yang tidak mampu berbahasa Arab atau Inggris, sementara mereka sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit kepada agen pekerja asing. Tapi saya yakin, tidak hanya Sumiati yang ketika ditempatkan bekerja, tidak mampu untuk berkomunikasi sesuai bahasa negara tempat mereka bekerja. Hanya kebetulan Sumiati kurang beruntung saja, mendapatkan majikan yang memiliki kesabaran minim dan temperamen. Lalu salahkah Sumiati yang tidak mampu berbahasa Arab dan Inggris ini tetap nekat untuk bekerja ke Arab Saudi? Tentu ia tak bisa disalahkan, pasti biaya yang dikeluarkan oleh Sumiati dalam rangka menjadi TKI tidaklah sedikit juga. Dimana biaya-biaya ini yang seharusnya ada bagiannya untuk pembekalan kompetensi, tapi lebih banyak tersedot untuk segelintir orang yang mengambil keuntungan dari para buruh migrant ini. Toh jika melihat realita yang ada, teman-teman Sumiati banyak yang berhasil walaupun mereka awalnya tidak lancar berkomunikasi dalam bahasa asing, mungkin hanya “Yes” atau “No” yang mereka tahu. Lagi pula seorang sarjana bahasa asingpun belum tentu lancar berkomunikasi, apalagi dibandingkan Sumiati yang pembekalan komptensinya dilakukan dalam tempo singkat, hanya dalam hitungan hari atau bulan.
Mungkin kita perlu belajar dari kisah Abu Bakar ra., bagaimana ia memaafkan kesalahan pembantunya Mistah bin Utsatsah. Ketika itu putrinya Aisyah tertimpa fitnah telah berselingkuh dengan sahabat Nabi, Safwan. 1 bulan tidak ada wahyu turun yang menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi. Kemudian turunlah QS. An-Nur ayat 11-19 menjawab semua tuduhan palsu tersebut. Dimana yang menyebarkan berita bohong adalah gembong munafik Abdullah bin Ubay. Masalahnya, Mistah pembantu Abu Bakar ini turut pula menyebarkan dan meyakini bahwa berita bohong itu benar. Mendengar ini Abu Bakar ra. sangat marah, hingga mengeluarkan perkataan “tidak akan lagi memberikan bantuan untuk Mistah”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya untuk menegur sikap Abu Bakar ra ini, dalam QS. An-Nur ayat 22 “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Mengetahui ada teguran Allah atas sikapnya Abu Bakar ra menangis lalu berkata kepada Mistah “Mulai sekarang aku akan melipatgandakan nafkah untukmu dan aku telah memaafkan dirimu”.
Semoga dengan tereksposenya kasus Sumiati ini, kita Warga Negara Indonesia bisa mengambil hikmahnya, bagaimana kita memanusiawikan mereka. Kita tidak bisa menafikan kontribusi mereka dalam perekonomian Indonesia sangatlah besar. Mereka menjadi salah satu sumber devisa dan penyumbang remitansi (*) yang cukup besar. Walaupun remitansi ini tidak masuk ke kas negara, tetapi memiliki pengaruh dalam menggerakkan perekonomian daerah.
Meskipun sumbangan remitansi buruh migran besarnya hampir enam kali lipat dari total bantuan asing (menurut Bank Dunia sekitar 7,1 milliar dollar AS di tahun 2010), tapi mereka tak pernah menikmati perlakuan terhormat dari Pemerintah kita. Bahkan menurut survei integritas pelayanan publik KPK yang dirilis awal November 2010, pelayanan pemulangan TKI di Bandara Soekarno Hatta masuk kategori pelayanan terburuk. Atau kasus terbaru adalah ketika sejumlah media massa menyiarkan berita tentang “Rombongan DPR telantarkan TKW di Dubai”, dimana para TKW yang tidak mengerti bahasa asing kebingungan saat akan dipulangkan ke Indonesia. Mereka kebingungan akan pembagian kamar dan jam keberangkatan pesawat mereka. Akhirnya ada beberapa orang WNI yang kebetulan transit di Bandara tersebut, menjadi mediator dan membantu kepulangan mereka. Para relawan inipun kebetulan satu pesawat dengan para anggota DPR yang baru selesai melaksanakan Studi Banding ke Moskow/Rusia, tapi transit dulu ke Bandara Dubai ini.
Ada salah satu anggota DPR berkata kepada Rini (salah seorang relawan) ”Bu, tolong, dong, dibilangin rombongannya jangan ribut, malu-maluin negara aja, kan enggak enak ribut begitu,” tegur perempuan itu kepada Rini (salah seorang relawan).
Rini, ”Rombongan mana, Bu?”
”Itu, rombongan TKW,” kata perempuan itu.
Rini, ”Lha, saya bukan TKW, Bu. Saya ini ingin pulang ke Indonesia, berlibur, kebetulan bertemu dengan mereka. Mereka ribut karena bingung Bu, banyak yang bertahun-tahun enggak pulang, kasihan. Ibu mau liburan juga?” tanya Rini.
”O enggak, saya baru pulang dari Moskow, tugas negara,” kata perempuan itu yang menurut Rini hanya tetap berdiri tanpa ikut membantu para TKW yang gaduh karena bingung. Belakangan, Rini tahu perempuan itu adalah anggota DPR yang habis melakukan studi banding di Moskwo, Rusia. Sementara anggota DPR yang lain hanya memandang kemudian ngeloyor pergi menuju ke mobil sewaan, tanpa menghiraukan rakyatnya yang kelabakan dinegeri orang ini. (Kompas, 19 Nov 2010).
Miris.Bagaimana kita mau menuntut negara-negara luar untuk memanusiawikan mereka, sementara di negerinya sendiri para buruh migran itu mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya.
Tak perlulah mereka digelarkan karpet merah atau mendapatkan pengawalan yang ketat layaknya tamu dari negara-negara asing yang akan memberikan pinjaman. Tapi harapan mereka perlakukanlah secara manusiawi dan terhormat, serta mendapatkan proteksi/perlindungan yang selayaknya sebagai seorang Warga Negara Indonesia.
* Remitansi : Kiriman uang hasil jerih payah para TKW bekerja diluar negeri.
Wallahu ‘A lam Bis Showwab.
Jakarta, 30 Nopember 2010
[email protected]