Saya tutup pembicaraan dengan ibu saya melalui handphone. Hmm.. dua puluh tiga riyal habis untuk bercakap-cakap melepas rindu dengan ibu hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit saja. Mahal sekali memang. Tapi sudah saya niatkan untuk menelepon ibu di Indonesia seminggu sekali. Hitung-hitung sebagai ongkos birra al-walidayn. Saya ingat-ingat lagi pesan ibu saya, ustadz ini, ustadz itu, dan nama-nama teman ibu yang akan datang untuk berhaji.
Itu terjadi pada musim haji beberapa bulan lalu. Ya memang, setiap tahun kami selalu harus meluangkan waktu untuk menemui teman-teman sejawat saya, suami, saudara-saudara, atau bahkan teman dari orang tua, saudara ipar, dan sebagainya. Mungkin ini merupakan salah satu keistimewaannya tinggal di dekat kota Makkah, dapat menyambung tali silaturrahim. Padahal banyak juga teman atau saudara yang kalau di Indonesia justru malah sulit ditemui, entah karena lokasi yang jauh atau karena kesibukan kami masing-masing.
Biasanya bila ibadah haji atau umroh sudah selesai, barulah kami mulai sibuk “bertugas”, seperti kerja di kantor konsulat saja. Kalau sudah banyak tamu yang akan ditemui, saya dan suami harus mengatur jadwal. Tanggal berapa harus ketemu dengan siapa, diundang ke rumah atau bertemu di hotel, siapa yang akan menjemput, kendaraannya apa, dan sebagainya.
Begitulah, pada musim haji beberapa bulan lalu, saat saya baru saja menyelesaikan sholat maghrib, handphone saya berbunyi. Nomor yang muncul tidak saya kenal. Kupencet tombol untuk menjawab, dan terdengar suara laki-laki yang menyapa saya dan menyebutkan namanya di seberang sana dengan sopan. Dia bertanya kepada saya, masih ingat atau tidak, karena dia mengaku teman saya sekolah semasa kecil. Saat itu dia masih berada di Makkah dan minggu depannya akan ke Jeddah sebelum pulang ke tanah air.
Setengah ingat dan tidak, saya menjawab basa basi dan menawarkan agar menelepon saya bila sudah sampai Jeddah. Setelah mengakhiri pembicaraan, saya mencoba mengingat-ingat wajah si penelepon. Bayangkan saja mungkin kami sudah tidak bertemu sekitar dua puluh tiga tahun lamanya. Kalaupun ingat, pasti wajahnya pun sudah berubah. Saya pun sempat bertanya pada teman saya tadi darimana dia mendapatkan nomor saya. Rupanya ustadz ibu saya satu rombongan dengannya. Entah darimana awal pembicaraan mereka kok bisa nyambung hingga dia bisa memperoleh nomor telepon saya. Padahal rasanya teman saya inipun tidak pernah tahu saya tinggal di mana, karena sudah lama tidak saling kontak. Dengan adanya telepon dari teman saya tadi, berarti daftar tamu yang akan kami temui, harus bertambah satu.
Satu minggu kemudian, teman saya tadi menelepon suami saya. Nomor telepon suami saya pun mungkin didapat dari ustadz ibu saya itu. Lalu suami saya mengundangnya datang ke rumah tanpa sempat memberitahu saya, mungkin karena kesibukannya.
Pada hari jumat siang itu mendadak suami saya baru bilang, bahwa dia sudah “terlanjur” mengundang teman saya datang ke rumah. Dan ternyata teman saya juga akan datang bersama lima orang tamu lain yang di antaranya ustadz ibu saya. Begitu mendadak dan tanpa persiapan. Apalagi setiap hari jumat biasanya “hari tidak memasak di rumah”, karena kami selalu membeli nasi Kabsah untuk dimakan bersama keluarga selepas jum’atan. Jadi pada hari itu pun saya belum sempat memasak makanan apa-apa.
Direncanakan mereka akan datang selepas maghrib. Suami saya pun heran dengan keputusannya sendiri yang mengundang mereka ke rumah. Seolah-olah undangan itu terucap begitu saja. Padahal kalau dipikir-pikir, kami belum saling bertemu dan mengenal (kecuali teman sekolah saya itu). Biasanya kalau tidak terlalu kenal, kami cukup hanya bertandang ke hotelnya. Ibu saya pun tidak berpesan kepada saya untuk mengundang dan menjamu ustadznya tersebut.
Akhirnya karena tidak ada persiapan, kami memutuskan untuk membeli kue, roti, dan juga lauk pauk, untuk berjaga-jaga seandainya tamu kami ini belum makan malam.
Selepas maghrib, datanglah keenam tamu kami itu, termasuk juga teman sekolah saya. Wajah-wajah yang lelah namun bahagia karena telah menyelesaikan semua ibadah hajinya. Sebagian dari mereka memang pembimbing haji, yang tentunya bukan pertama kali datang untuk berhaji. Kami duduk lesehan di atas karpet agar lebih rileks dan lebih akrab. Sedikit-sedikit saya mulai mengingat teman sekolah saya tersebut. Ya dulu seingat saya badannya sangat kurus dan tinggi, namun sekarang sudah lebih gemuk sedikit, mungkin karena sudah berkeluarga. Kami sempat saling bercerita tentang teman-teman sekelas kami dulu.
Sesuai rencana, kami keluarkan makanan-makanan kecil seadanya dari martabak, roti-roti, kue kering beserta jus dan air putih. Satu jam berlalu, jamuan kecil kami terutama martabak yang kami sajikan sudah tinggal dua potong saja. Karena terlihat obrolan mereka masih asyik, suami saya langsung meminta saya untuk menyajikan nasi putih beserta lauk ayam bakar, ikan bakar, lalap, dan sambel yang kami beli dari restoran Indonesia.
Begitu nikmatnya mereka menyantap makanan yang kami sediakan. Apalagi mereka makan dengan tangan, tidak menggunakan sendok. Pasti lebih sedap. Bahkan tamu kami tidak enggan untuk menambah nasi dan lauk pauknya ketika kami tawari untuk tambah. Saya pun bertambah semangat untuk menyajikan buah-buahan potong sebagai makanan penutup.
Ya pastilah tamu-tamu saya ini sudah kangen dengan masakan Indonesia. Apalagi setelah menuntaskan ibadah haji yang pastinya sangat melelahkan. Kalaupun makanan selama haji yang disajikan berupa masakan Indonesia, kebanyakan rasanya kurang pas di lidah. Begitu yang sering saya dengar dari para jamaah yang selama ini kami temui. Bahkan salah satu kawan saya yang datang ke rumah pernah mengatakan pada saya, baru sekarang rasanya bisa makan nikmat, sambil menyantap masakan kami yang sederhana. Entah itu sebagai ucapan basa-basi atau bukan. Ada juga yang bercita-cita kalau sampai Indonesia ingin dimasakkan sayur bening saja karena sudah bosan dengan makanan yang disediakan katering.
Begitu tamu-tamu kami mengakhiri obrolannya dan kembali ke hotel, saya dan suami saya membahas kejadian barusan. Begitu puas hati kami melihat tamu kami dapat menikmati hidangan yang disediakan. Padahal semula kami tidak berniat untuk menyuguhi mereka makan malam. Apalagi waktu yang sangat terbatas, karena suami saya harus menghadiri meeting di tempat lain selepas isya. Namun begitu martabak tinggal dua potong, berarti mereka belum makan malam di hotel. Hanya ituasumsi kami.
Ibu saya pernah berpesan, bila ada tamu yang datang ke rumah dan pas jamnya makan, ajaklah dia makan. Walaupun hanya disajikan nasi dan telur mata sapi, asal ikhlas pasti tamu kita akan tetap nikmat makannya. Ternyata betul, sudah beberapa kali saya rasakan. Bila kita menyuguhi tamu dengan ikhlas, makanan apapun yang ada di rumah pasti bisa menjadi suguhan yang berkah dan nikmat. Sedikit atau banyak biasanya tetap saja cukup. Dan yang jelas, rasa puas dan bahagia karena telah dapatmenyambung tali silaturrahim danmemuliakan tamu kitatentunya merupakan kebahagiaan yang tidak dapat tergantikan.
Safar 1429 H