Sekitar dua belas tahun yang lalu, orang tua Sania ( nama samaran ) telah menerima pinangan seorang pria. Rencananya Sania akan melaksanakan akad nikah dengan pria tersebut sekitar dua atau tiga bulan setelah pinangan tersebut. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang masih harus di persiapkan.
Dalam masa menunggu itu, Sania tidak punya kegiatan yang menyita waktunya. Hari-harinya terasa sangat lambat. Ikatan ini adalah perjodohan yang harus diterimanya. Tapi entah kenapa, setelah beberapa waktu sebelum cincin kawin melingkar di jari manisnya, dia kedatangan dua orang pria. Seorang pria adalah temannya, dan kebetulan membawa serta seorang pria yang ternyata seorang duda. Kedatangan dua orang pria itu ternyata membawa efek yang tidak diperkirakan oleh Sania maupun keluarganya.
“Betapa tampannya laki-laki ini. Berdebar jantungku menatapnya. Apakah aku saat ini jatuh cinta. Selama ini memang aku tak pernah merasakan bagaimana orang jatuh cinta. Tapi saat ini, rasanya aku mengetahui pula bagaimana bila kita tertawan pada pandangan pertama.” Begitulah yang dirasakan Sania pada pertemuan pertama ini. Dia tidak bisa melepaskan pesona lelaki yang telah memikat hatinya ini. Padahal sang lelaki yang bernama Andi ( nama samaran ) tidak banyak bicara, kecuali sepatah dua patah kata. Dia pun hanya menunjukkan KTPnya ketika di tanya siapa namanya.
Setelah pertemuan itu, Sania tidak bisa tenang dalam tidurnya. Setiap waktunya hanya mengingat sebuah wajah, yang dia sendiri tidak tahu kenapa sangat di rindukannya. Padahal lelaki itu sepertinya biasa-biasa saja dalam pertemuan mereka, tidak kelihatan hal istimewa yang ditunjukkannya pada Sania, yang membuat Sania tahu jika lelaki itu ada hati padanya.
Ada beberapa pertemuan beberapa kali dengan sang pujaan hatinya tersebut, hingga Sania dengan sangat tega memutuskan pinangan yang telah diterima kedua orangtuanya hanya karena kehadiran Andi dihatinya. Memang Sania menyadari konsekuensinya, dengan merusak harapan orangtua dan itu berarti membuat kerusakan kekerabatan antara orangtua dan keluarga calon suaminya. Tapi apa yang bisa dikatakan, bila Sania tidak bisa menolak pesona Andi yang sangat kuat terpatri dalam pikirannya. Ini adalah cinta pertamanya, yang tidak ingin dilepaskannya, walau pun dia tahu Andi adalah seorang duda dengan beberapa orang anak dari hasil perkawinannya yang pertama.
“Aku tak bisa hidup tanpa dirinnya.”. Begitulah Sania memberi alasan kepada kedua orangtuanya. Hingga beberapa ancaman pun keluar dari mulutnya. Sania yang mungil, lembut dalam bersikap dan bertutur kata, ternyata dapat pula mengeluarkan sebuah ultimatum yang tidak bisa di tolak orangtuanya.
Akhirnya perkawinan nya dengan Andi dapat terlaksana. Serasa dunia berada di dalam pelukannya. Banyak angan yang tersimpan. Banyak mimpi yang ingin di bangun bersama Andi yang sangat di cintainya. Rasanya tidak pernah Sania merasakan kegembiraan seumur hidupnya, seperti pada saat dikukuhkannya ikatan mereka pada hari istimewa ini
Sania yang berasal dari Kalimatan Selatan, setelah menikah di boyong suaminya ke Sengata, tempat suaminya bekerja. Sania pun memulai hidup baru dengan suasana yang tidak pernah di bayangkannya. Sania pun hanya berusaha untuk menerimanya dengan sepenuh kekuatannya.
Rumah tangga yang penuh gelak tawa, canda dan romantisme sebuah pengantin baru, ternyata hanyalah tetap sebuah mimpi, yang tidak pernah terwujud. Hari-harinya penuh dengan kebisuan. Andi, suaminya ternyata seorang yang sangat pendiam bila bersama istrinya. Tidak ada kata-kata kecuali sesuatu yang keluar dari mulutnya hanya berupa satu atau dua patah kata tidak lebih. Tapi anehnya, bila ada seseorang yang berkunjung ke rumahnya, Andi dapat berbincang dengan lancar. Tentu saja ini sangat menyakitkan hati Sania. Sania tidak menyangka Andi akan memperlakukannya hanya seperti barang. Bila dibutuhkan akan dihampiri, tapi bila tidak, maka jangan berharap ada kemesraan yang diinginkan oleh Sania. Sania yang lembut, tidak bisa membagi deritanya ini kepada siapa pun tak terkecuali kepada orangtuanya.
Saat ini Sania telah mempunyai dua orang anak dari hasil pernikahannya. Jangan dibayangkan sang suami hanya pendiam. Tapi Andi ternyata juga suka wanita lain. Beberapa kali dia hidup dengan wanita lain. Kadang dia hanya pulang untuk mengambil pakaian bersihnya sepulang kerja, kemudian menginap di rumah wanita selingkuhannya. Berbagai cara telah Sania lakukan, tapi ternyata Andi memang punya sifat demikian. Sania kecolongan! Karena ketika menerima tawaran Andi untuk menikah dengannya, Sania tidak mencari informasi tentang penyebab kegagalan pernikahan Andi yang pertama. Sania baru tersadar, dia hanya menurutkan kata hati untuk mengikat diri pada Andi.
Prahara demi prahara mengisi kesehariannya. Dia tetap teguh menjalani biduk rumahtangga yang memang diinginkannya, walaupun keluarga besarnya menentangnya. Sania hanya dapat meneteskan air matanya pada seorang sahabatnya , untuk setiap deritanya. Sania telah berulang kali meminta cerai pada suaminya, tapi Andi tetap kukuh mengikatnya. Kemana pun Sania pergi, maka suaminya dapat menemukannya. Sania pun berlari kepada ipar dan mertuanya, tapi yang di dapat? Mereka hanya menyalahkan Sania.
“Kamu sendiri yang mau dengan Andi, kenapa harus kecewa?” kata-kata itu menghujam di lubuk hatinya. Mendengungkan gendang telinganya, membuat runtuh jantungnya, tak ada tempat untuk berlari. Tak ada tempat untuk berbagi derita, semuanya gelap dirasa.
Beberapa kali dia berniat bunuh diri dengan membawa kedua anaknya. Sania berdiri di jembatan Pinang dan menunduk melihat air sungai yang sangat deras. Sania meneteskan airmata, sadar bahwa semua keruwetan ini adalah karma baginya. Anak keduanya yang baru berusia beberapa minggu, ada di gendongannya. Anak pertamanya memegang tangannya di sebelahnya.
“Kita mau ngapain ma?” Anak pertamanhya bertanya, karena Sania hanya diam terpaku berdiri di pinggiran jembatan yang saat itu belum rampung dibangun. Air-matanya menetes deras. Kesadaran mulai merambati hatinya. Sania sadar. Akan ada kehidupan kedua yang akan dijalaninya. Kehidupan akhirat yang akan meminta semua pertanggung-jawabannya selama di dunia ini. Maka Sania pun melangkah pulang ke rumahnya, rumah yang tak pernah indah di pandangan matanya.
Sania yang dulunya berjilbab dan berpakaian sopan, ternyata saat ini sangat berubah. Jilbabnya lenyap, pakaian yang dulunya tidak disukainya, ternyata saat ini sangat digemarinya. Sania sekarang ini senang memakai pakaian ketat, yang memperlihatkan lekuk ktubuhnya. Pakaiain yang dapat membuat jakun para lelaki naik turun karenanya. Naudzubillah.
Begitulah cerita Sania. Sania yang dulunya seorang yang taat agama, ternyata melepaskan semuanya demi sebuah cinta. Cinta yang hanya didasari nafsu. Lalai untuk bermunajat kepada Pengatur Kehidupan ini, melalui shalat istikharah. Sania dengan sangat berani mempermalukan keluarganya, khususnya kepada kedua orangtuanya dengan melepaskan kesepakatan perjodohannya, hanya karena tidak ingin melepaskan orang yang membuatnya mabuk kepayang.
Sania melepas perjodohan dari orangtuanya untuk mereguk bahagia cinta, ternyata malah mendapatkan derita yang tidak berujung. Malu pada diri, malu pada keluarga, dan membuatnya menjauh dari Allah Swt.
Inilah gambaran dari seorang anak manusia yang hanya menuruti kata hati. Sebuah keyakinan yang tak berdasar, yang membuatnya yakin cintanya adalah sebuah awal dari kebahagiaan selanjutnya, ternyata itu adalah awal dari semua penderitaannya, hingga kini. Penderitaan yang menimpanya, adalah sebuah penderitaan yang tidak boleh ada penyesalan, karena itu lah jalan yang telah dipilihnya.
( Cerita ini nyata, wanita dalam cerita ini penulis kenal ( tapi tidak akrab ). Ada pun sumber ceritanya berasal dari sahabatnya yang kebetulan merupakan teman penulis pula. )
Sengata, 27 September 2009
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata