Oleh : Keusuma Sebuah pengalaman sederhana, tapi membekas dalam ingatan saya. Ketika di satu sore, matahari yang merindukan malam, perlahan tapi pasti menuju ufuk barat cakrawala. Jejaknya membiaskan kemilau jingga di langit Bogor yang cerah tak berhujan kala itu. Sepanjang koridor Jembatan Merah, tapak-tapak kaki manusia berkejaran melindas aspal jalanan yang masih menyisakan panas tadi siang. Walaupun berlainan arah, tapi semuanya menuju tujuan yang sama, “Home sweet home“.
Raut-raut wajah yang tadi pagi keluar dengan sumringah, cerah menghadapi hari, sekarang membawa pulang kelelahan yang terpancar dari butir keringat dan kernyit kekelahan di dahinya. Sebagian otak kecil mereka sudah lebih dulu menyerbu rumah dengan bayangan kesegaran mandi air hangat yang sudah disiapkan orang terkasih, disambut buah hati yang baru bisa menjejakkan dua tiga langkah kecilnya ke bumi, kemudian melahap hidangan di meja makan, walaupun dengan menu sederhana tapi terasa nikmat oleh racikan tangan penuh cinta.
Bias jingga masih tersisa ketika gerbong-gerbong Kereta Rel Listrik mulai merayap meninggalkan peron Stasiun Bogor. Kereta tujuan Jakarta di sore hari tidak terlalu padat seperti kereta yang menuju Bogor. Kota Metropolitan Jakarta telah menarik berjuta “semut pekerja” dari pinggiran untuk mengais rejeki di kota. Jakarta yang begitu padat, sehingga alternatif hunian di pinggir kota menjadi pilihan tak terelakkan bagi mereka. Konsekwensinya, mereka harus rela berjubel di dalam gerbong-gerbong trasnportasi murah setiap paginya untuk menuju tempat kerja, dan masih harus terbiasa menghirup gas CO2 nafas manusia lain di dalam gerbong sesak di saat pulang kerja. Itulah hidup …
Beruntung saya bisa mendapatkan tempat duduk yang enak ketika masuk ke gerbong ini. Saya katakan “enak” karena posisinya di samping pintu kereta, sehingga saya bisa leluasa menumpahkan pandangan ke luar kereta yang sedang berjalan. Menyisir rimbun pepohonan, ladang, sawah, dan perkampungan yang dilewatinya. Posisi yang menghadap ke barat, menampilkan kanvas Maha Karya perpaduan jingga kekuningan langit dengan hijau dedaunan. Sang mentari laksana perawan pingitan yang sesekali mengintip malu dari sela awan. Ditingkahi sepoi angin menyapu wajah yang letih seharian berkutat dengan gambar-gambar desain dan denah tapak di layar monitor komputer, mengejar deadline.
Sejenak bola mata saya terhenti pada sesosok pemuda tanggung yang duduk di depan saya, di sisi gerbong yang berlawanan. Usianya mungkin sekitar 23 tahunan. Dengan kemeja flannel kotak-kotak biru putih, sandal gunung, tas ransel yang sepertinya terisi beberapa buku (diktat mungkin), bisa ditebak bahwa pemuda itu adalah mahasiswa. Mungkin dia suka naik gunung, tapi bisa jadi dia hanya suka berpakaian seperti itu, untuk menimbulkan kesan cowok macho tapi cool layaknya petualang sejati. Postur tinggi kurus, dengan rambut sedikit lebih panjang dari potongan pria umumnya, dan kulit yang kecoklatan memang tidak terlalu menarik untuk jadi cover boy.
Tapi ada yang mengusik mata saya untuk tidak melepas pandangan darinya. bibirnya …Bibir tipis yang ikut mengukir wajah tenang itu bergerak-gerak sedari tadi. Entah apa yang dia ucapkan, lamat-lamat, tapi memancarkan ketenangan yang dalam di raut wajahnya. Gemuruh kereta dan teriakan penjual asongan yang ditambah riuh suara penumpang, jelas tidak menyisakan frekuensi bagi gelombang suara pemuda itu untuk sampai ke telinga saya. Sementara di langit, matahari mulai mendekati cakrawala. Kereta berhenti sejenak di Stasiun Bojong Gede. Seorang ibu setengah baya yang baru naik, segera mengambil posisi berdiri di depan pemuda itu.
Menyadari itu, sang pemuda segera bangkit untuk menyediakan tempat duduknya bagi si ibu. “Gentleman juga”, dalam hati saya memberi penilaian singkat. Tidak jarang, bila kereta sedang penuh, laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, tidak mau merelakan tempat duduknya bagi perempuan tua, atau wanita hamil. Mungkin kehidupan kota membuat orang banyak berpikir “seenaknya gue”. Kelelahan menghadapi persaingan hidup sikut menyikut, menguras habis rasa dan budaya tolong-menolong warisan nenek moyang bangsa. Rasa individualis yang egois semakin mewarnai beringas kota metropolis ini. Dan kereta terus melaju menuju Jakarta.
Ternyata ibu tadi tidak lama mengikuti perjalanan kereta senja itu. Di stasiun Citayam -satu stasiun setelah Bojong Gede- dia turun, dan pemuda itu kembali menikmati tempat duduknya semula. Jari-jarinya mulai bermain. Saya perhatikan, jari-jemari kekar itu berubah fungsi menjadi alat hitung. Oh, dia sedang menghitung-hitung ucapannya. Lincah jari-jemari itu teratur mengikuti gerak bibirnya yang berulang setiap kali jarinya bergerak. Riuh suasana sekelilingnya tidak membuat ia mengalihkan konsentrasi dari aktivitas yang dia bangun sejak kereta beranjak dari stasiun Bogor.
Kali ini matahari sudah sempurna bersembunyi di balik cakrawala, untuk esok kembali melakukan perjalanannya menemani manusia yang menyebar di setiap sudut bumi Allah mencari rejekinya masing-masing. Suara adzan maghrib tidak terdengar di kereta yang sedang melaju membelah remang senja waktu itu. Di depan saya, pemuda itu kini menunduk diam. Tertidurkah? Tidak. Ternyata ia melafalkan sebait doa. Saya tahu itu, karena sesaat sebelum kereta berhenti di peron stasiun Depok Baru, dia menyapukan kedua tangannya ke muka. Ternyata di sinilah tujuannya. Dia beranjak turun membawa secercah damai yang terpancar dari wajah kurusnya. Langkah pastinya menapaki peron, kepastian akan jejak-jejak waktu yang terlewatkan tanpa suatu kesia-siaan.
Kepastian untuk melangkahi hari esok yang penuh misteri, melakukan yang terbaik yang mampu dilakukan. Kepastian bahwa Sang Pencipta senantiasa mengamati langkah kita, dan tidak akan membiarkan kita terjatuh tanpa pertolongan dariNya. Setiap detik waktu yang terlewat tidak akan pernah kembali. Beruntung manusia yang bijak memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna bagi kehidupan saat ini maupun nanti. Karena kebaikan sekecil apapun pasti ada balasannya kelak.