“The highest value of iman (nilai tertinggi dari iman) adalah bersyukur, karena di tengah kesulitan sekalipun ada blessing (rahmat) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa syukur ini diekspresikan dalam bentuk ibadah”. Kata-kata itu begitu membekas dalam hati saya. Bukan hanya pada maknanya, di mana ada hubungan antara iman, syukur, dan ibadah. Tapi juga pada peristiwa di mana kata-kata itu terlontar dari mulut seorang ustadz asli Indonesia yang kini menjadi Imam masjid Islamic Center di negara yang dijuluki super power.
***
Tepat pukul 11.05 burung besi American Airlines mendarat di Bandara Internasional Frankfurt am Main. Dari pintu Terminal A, muncullah seseorang yang mengenakan jas dan berkumis rapi namun tampak bersahaja. Ternyata ada dua kelompok yang menjemputnya, yang satu orang-orang Jerman dan yang lain dua orang Indonesia. Tanpa disangka, orang tersebut akhirnya mengikuti kelompok penjemput yang kedua. Singkat cerita, tamu itu segera disambut hangat di sebuah aula Konsulat Jendral RI di Frankfurt yang Minggu sore itu penuh sesak dengan jamaah muslimin.
Ucapan salam, hamdalah, dan shalawat dilontarkan oleh seorang pemimpin jamaah. Ruangan tampak bergetar ketika firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dilantunkan dengan tartil. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 2-4).
“Hadirin sekalian..”, moderator membuka acara, “Kami perkenalkan tamu kita yang baru saja tiba dari New York, namanya Ustadz M. Syamsi Ali. Beliau ke Jerman ini untuk memberikan presentasi tentang Islam dalam seminar dialog antar umat beragama (interfaith) lintas Atlantik (Amerika-Eropa). Seminar itu diadakan oleh Akademi Evangelish di Schmitten, lereng Gunung Taunus, sebelah barat laut Frankfurt. Alhamdulillah, atas izin Allah SWT, kami tadi berhasil “menculik” beliau dari bandara, saat dijemput oleh panitia seminar.”
Dengan senyum yang khas tamu itu membalas salam para hadirin. Sejurus kemudian meluncurlah tausyiahnya yang sarat makna dan doa dengan tema sentral bersyukur sebagai nilai tertinggi dari keimanan.
***
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang sudah dijamin surga masih bersusah-payah beribadah, berjihad, dan bahkan tak kurang dari seratus kali dalam sehari memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Terkadang kaki beliau hingga bengkak akibat terlalu lama berdiri dalam khusyu’nya sholat malam atau tubuh beliau terluka parah dalam gigihnya perang melawan kaum musyrikin. Ketika hal ini ditanyakan oleh isteri beliau Aisyah ra., beliau menjawab tegas: “Jika tidak demikian, maka tidaklah aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur!”
Tak pelak, rasa nikmat beribadah itu cerminan dari rasa syukur sekaligus ketebalan iman seorang muslim. Ini diekspresikan dengan penghambaan seorang manusia kepada Khalik-nya. Orang yang mampu bersyukur adalah sosok yang mampu menghadapi berbagai kesulitan. Ini tidaklah aneh, karena pada setiap kesulitan itu sesungguhnya ada blessing (rahmat-Nya).
Namun jika mendapat nikmat, terkadang kita menjadi arogan dan lupa daratan, hingga lupa bersyukur. Kita baru sadar saat datang cobaan atau musibah. Hasil suatu survei menunjukkan negara yang bahagia ternyata adalah yang penduduknya miskin yaitu Bangladesh. Justru Jepang sebagai negara maju, termasuk kategori negara yang tidak bahagia karena banyak penduduknya putus asa, bahkan terkadang sampai membunuh orang lain atau diri sendiri.
Lalu, mengapa kita harus bersyukur terhadap semua yang kita alami dan kita rasakan?
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (QS. Luqman: 20).
Wujud kita sebagai manusia adalah nikmat lahiriah yang pertama. Jika kita bersyukur, maka kita akan selalu merasa puas dengan bentuk tubuh yang menjadi anugerah-Nya. Banyak orang tidak merasa puas dengan wujudnya, sampai-sampai harus menjalani operasi plastik berulang kali. Tapi setelah itu, hatinya tidak kunjung merasa tenang dan puas.
Nikmat-Nya yang lain adalah beraneka ragamnya bahasa dan warna kulit manusia di muka bumi ini. Allah menyepadankan keanekaragaman manusia itu sebagaimana perbedaan bumi dan langit, suatu hal yang amazing (sungguh besar).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. Ar Ruum: 22).
Nikmat berikutnya adalah pandangan, pendengaran, dan hati. Bagaikan sebuah komputer, alat-alat indera itu memberi input pada hati untuk kemudian ditimbang apakah baik atau buruk, apakah benar atau keliru. Tidaklah salah jika Allah menyuruh manusia untuk menjaga ketiganya sebagai bentuk penjagaan keimanan.
Di antara nikmat batiniah adalah ruh dan akal. Dalam setiap ruh terkandung fitrah, yang tidak pernah akan berubah sepanjang usia kita. Fitrah akan mendorong kita cenderung pada perbuatan baik dan mengakui Allah semata sebagai sesembahannya. Tapi terkadang fitrah itu tersembunyi atau tertutupi oleh sesuatu, yang dikatakan sebagai kufur. Jadi, orang kafir itu pun mempunyai fitrah, tapi tertutup oleh pengaruh keluarga, teman, dan lingkungannya.
Sebagai ungkapan syukur, akal (rasio) manusia hendaknya diarahkan secara seimbang dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits. Kecerdasan akal (intelectual intelligence) harus seimbang dengan kecerdasan hati (emotional intelligence). Kalau hanya mempertajam kecerdasan akal maka orang akan berpotensi untuk menipu, mengelabuhi, dan korupsi. Jika hanya mengandalkan kecerdasan hati maka kita akan mudah ditipu dan dikelabuhi.
***
Uniknya, bentuk dan porsi nikmat yang diberikan kepada setiap manusia tidaklah sama satu dengan yang lain, dan hanya Allah-lah yang berhak menentukannya. Itulah ujian Sang Khalik kepada hamba-Nya. Bisakah kita tetap bersyukur dengan apa saja yang kita terima, meskipun tampak di mata kita bentuknya berupa kesulitan atau tidak sepadan dengan milik orang lain atau tidak seperti yang kita idam-idamkan?
Sebagai ilustrasi, alkisah ada seorang raja dan seorang pembantu kepercayaannya sedang berburu di hutan. Si pembantu secara tak sengaja keliru memasang peluru pada senapan, sehingga ketika sang raja hendak menembak binatang buruan, peluru justru lepas salah sasaran, mengenai dan memotong jari kelingkingnya. Tentu saja raja marah besar dan si pembantu pun dijebloskan ke dalam penjara. Pada saat lain sang raja berburu sendirian. Malangnya, ia tertangkap kelompok suku kanibal yang sedang mencari mangsa untuk di-barbeque (dipanggang). Tiba-tiba kepala suku itu melihat jari kelingking raja yang cacat. Seketika itu pula raja dibebaskan karena dipercaya akan membawa kesialan. Sekembalinya di istana, raja segera membebaskan si pembantu dari penjara. Raja berterima kasih kepadanya karena cacat jari akibat kelalaiannya justru telah menyelamatkan nyawa sang raja dari kebuasan suku kanibal. Tapi sebaliknya, si pembantu pun berterima kasih pada raja. Jika raja tidak memenjarakannya, maka ia pasti ikut berburu dan tertangkap suku kanibal itu. Alhasil ia akan jadi santapan lezat suku kanibal itu karena tidak ada anggota tubuhnya yang cacat.
***
Tak terasa waktu telah berjalan selama dua jam penuh. Seusai acara, entah kenapa hati saya terasa bergetar, sulit diuraikan dengan kata-kata. Hanya satu yang bisa saya ungkapkan, yaitu sebuah doa: semoga kita semua mampu menjadi hamba-Nya yang giat dan khusyu’ beribadah sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya. Amien. Wallahu a’lam bish-showab.
Frankfurt am Main, awal musim dingin di bulan Dzulqaidah 1427 H.
vitasarasi at yahoo dot com