Suatu hari, sebagaimana biasa, di tempat saya tinggal, ada kegiatan rutin, dua kali sepekan. Dua belas orang datang ke rumah, belajar bersama. Kami mengadakan pelatihan IELTS (International English Language Testing System) Preparatory Program. Bukan hanya itu saja. Kami juga menyelenggarakan beberapa pelatihan lainnya seperti English for Beginner, Technical Writing Skills, Article Writing Skills, Presentation & Communication Skills dan lain-lain. Dan itu kami selenggarakan tanpa kami pungut biaya.
Satu dari peserta yang datang lebih awal, bertanya kepada saya: “Why are you doing this thing?” Sebuah pertanyaan menarik. Saya jawab: “Beramal itu kan tidak harus dalam bentuk uang? Berdakwah tidak harus menjadi seorang ulama. Mengamalkan ilmu serta menularkannya kepada yang lain adalah amalan yang tidak kalah tinggi nilainya. Karena itu saya senang melakukannya!” Demikian jawab saya.
Mentransfer ilmu kepada orang lain tidak harus formal. Kita bisa mengajar di sekolah, kursus-kursus bahkan di jalan raya atau dalam perjalanan di kendaraan. Semuanya bisa menjadi ajang belajar-mengajar jika kita mau. Saya senang sekali mengajak orang yang duduk di sebelah saya manakala naik bus untuk berbicara tentang banyak hal. Itu bukan berarti niat kita menggurui. Sharing pengalaman bisa dikategorikan belajar. Mengambil manfaat dari hasil diskusi adalah proses pembelajaran yang banyak manfaatnya. Memang tidak semua orang menyukai berbicara sewaktu dalam perjalanan. Akan tetapi, bagaimana kita akan mengetahui bahwa orang yang berada di samping kita tertarik untuk berbagi bila kita tidak berhasrat untuk memulai?
Sayangnya, banyak orang kita yang memiliki kepribadian ‘low profile’. Kuatir jika dikatakan sombong. Takut dikatakan sebagai orang yang sok tahu atau disebut sebagai orang yang senang memamerkan kepinterannya kepada orang lain. Akibatnya, orang lain yang benar-benar membutuhkan ilmu atau ketrampilan kita tidak dapat menuai manfaat potensi yang kita miliki. Padahal, andai saja kita mau sedikit saja terbuka kepada orang lain, betapa besar artinya.
Pada hemat saya, ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa kita terlambat dan jauh ketinggalan dibading negara-negara Barat dalam perolehan ilmu ini. Faktor budaya misalnya. Tradisi Timur yang melekat pada diri kita tidak mudah begitu saja dilupakan. Kita umumnya malu kalau menceriterakan kelebihan yang ada pada diri sendiri pada orang lain. Padahal, dengan bercerita tentang kebaikan yang kita miliki, orang lain dapat mengambil hikmahnya. Orang lain bisa saja meniru tips yang kita punyai dalam mengatasi masalah atau meraih sebuah keberhasilan. Jika tinggal diam, orang lain tidak akan bisa belajar dari kita. Apalagi jika mereka yang ingin belajar itu secara finansial kurang mampu.
Saya seringkali bilang kepada rekan-rekan untuk menghubungi saya sepanjang saya dapat membantu. Apakah itu berkaitan dengan professional development, konsultasi, training, koreksi penugasan kuliah dan lain-lain. Itu bukan berarti saya adalah sumber segala informasi. Bukankah dengan berbagai ilmu, kita secara otomatis akan terangsang untuk tetap mengasah ilmu kita dan buahnya akan menjadi lebih baik selain berkah?
Salah seorang kakak saya di desa, pernah bercerita tentang apa yang pernah disaksikan di layar televisi terkait kegiatan masyarakat Indonesia di Hongkong. Banyak aktivitas positif yang mereka kerjakan. Mulai dari kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan hingga segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi seperti pelatihan Bahasa Inggris, komputer, kecantikan dan perawatan tubuh hingga seni potong rambut.
Kakak saya heran, karena apa yang dikerjakan oleh warga kita di Hongkong tidak lebih dari program yang disebut sebagai ‘Oleh dan Untuk Kita’. Semua kegiatan dan program-program itu dilakukan dengan tanpa memungut biaya dari peserta. Sementara di negeri sendiri, segala sesuatu banyak yang diukur dengan uang. Mana yang gratis? Mulai dari iuran sampah di kampung, pembuatan jalan-jalan di desa, parkir, air dan listrik, hingga kursus kecil-kecilan. Senyuman bahkan, kalau perlu, harus dibayar. Tidak ubahnya ajang bisnis. Kasihan orang-orang kecil yang tidak mampu.
Masyarakat kita biasa terbuai oleh materialism, hedonisme. Padahal hidup tidak identik dengan uang. Salah satu unsur kehidupan yang tidak dapat diukur dengan uang di antaranya adalah kepuasan. Bayangkan kalau segala sesuatu harus diukur dengan uang, maka betapa sempit ruang lingkup kita ini. Teman tidak lekat, saudara tidak dekat.
Orang tidak lagi mengenal istilah membantu yang lemah atau yang membutuhkan. Apalagi yang namanya ikhlas. Zaman sekarang ini sebagian besar kita lebih berkonsentrasi pada materi. Segala sesuatu diukur dengan yang kelihatan. Karena itu, jangan heran, sulit sekali menemui orang yang rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran apalagi uang, demi orang lain. Mereka yang bersedia membantu orang lain dari tiga aspek tersebut umumnya dikenal sebagai makhluk langka.
Kakak saya bertanya kepada saya: "Apakah kamu dibayar?" Saya bilang, upah kita kan tidak harus selalu dalam bentuk uang? Balasan dari Allah bisa berbagai ragam kebaikan. Bisa jadi bukan kita yang akan merasakan, namun anak-cucu kita nanti. Saya juga bilang bahwa andai saja segala kegiatan positif yang saya lakukan harus mendapatkan imbalan dalam bentuk uang, meskipun saya tidak menolak bahwa imbalan seperti ini sebagai bentuk profesionalisme, namun sesudah dibayar, maka tidak lagi berbekas budi baik kita.
Beda sekali jika perbuatan baik ini tidak harus dilandasi oleh uang. Nama baik, jasa hingga amalan yang bakal dicatat nanti merupakan sederetan keuntungan yang kita peroleh. Perjalanan hidup ini rasanya indah sekali manakala kita memiliki banyak teman dan saudara karena kebaikan yang kita taburkan. Dan kebaikan itu adalah ilmu.
Maka, jangan tunda, berbagilah! Saya percaya, anda akan dapatkan buahnya. Teman jadi banyak, jumlah saudara bertambah. Kalaupun mau mencari uang, juga dapat, pahala pula berlipat. Last but not least, semakin sering anda tularkan kepandaian atau ketrampilan anda, semakin piawai anda akan dibuatnya!
Doha, 6 April 2009