Nostalgia Berakhirnya Perjalanan 'Ta'aruf'

Beberapa waktu lalu pikiran saya terasa benar-benar mengalami stagnasi pemikiran yang konstruktif. Tak ada ide maupun gagasan penting yang lahir dari pikiran saya. Jikapun ‘ada’, hal itu terus berlalu begitu saja, tanpa sempat terabadikan dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja, tak ubahnya laksana hembusan angin yang datang menerpa kemudian pergi entah kemana…

Sejenak kucoba berpikir dan mencari sebabnya, kenapa duhai badan dikau terus malas dan manja, kenapa duhai pikiran dikau terus berpikir tanpa arah, whats wrong with you wahai diriku?… Terlalu banyak tugas dan kewajiban didepanmu, kewajibanmu lebih banyak dari waktu yang engkau miliki…alahai teuh,

Dalam kebimbangan hampa yang tidak perlu itu, kucoba menulis apa yang ada dibenakku, kiranya menjadi penghibur bagi diri pribadi yang resah gelisah… dan semoga selepas menyelesaikan tulisan curhatan hati ini diriku kembali seperti sedia kala….
Dalam coretan curhatan itu, kutemukan jawabnya, ‘ku ingin menikah’, ha ha ha ha…besitku dalam hati…. han ek takhem…

Ternyata, meski sudah sejak setahun yang lalu niat menuju kesana sudah ada namun untuk merealisasikannya tidaklah semudah yang saya pikirkan!. Berkali-kali ‘ta’aruf’ namun belum ada ketenangan jiwa untuk untuk benar-benar seirus mewujudkannya.

Ada saja alasan hingga niat itu tertunda terus menerus, saya tidak tahu apakah mereka yang pernah dita’arufkan sama saya itu kecewa ketika beberapa lama selepas ta’aruf(perkenalan/penajajakan) saya memutuskan menghentikan proses tersebut, dengan alasan-alasan yang menurut saya ‘sangat kuat’ dan siapapun harus menghormati keputusan saya, termasuk guru pengajian(murabbbi) dan orang tua saya.

Saya juga tidak tahu apakah mereka para akhwat yang pernah menolakku meresa menyesal dengan keputusannya, tapi mungkin ‘tidak’, gumamku dalam hati. Sebab, mereka mengambil keputusan yang terkadang membuatku ‘sedikit kecewa’ tersebut telah didahului oleh proses religi dengan jalan ‘istikharah’.

Terkadang saya mencoba menghibur diri ketika hasil istikharah mereka tidak memihakku, bahwa jikapun mereka menolakku, bukan berarti saya tidak akan pernah bisa mendapatkan pendamping hidup seorang akhwat aktivis dakwah sebagaimana impianku dahulu.

Mungkin dalam beberapa hal, akan ada beberapa ketidakcocokan dengan akhwat tersebut. Namun, satu hal yang kadangkala membuatku bertanya. Kenapa ketika akhwat yang menolak ikhwan, maka ribuan nasehat akan tertuju kepada sang ikhwan bahwa akhwat itu bukan jodohnya.

Padahal, ketika si ikhwan menolak sang akhwat, maka ribuan hujatan akan melayang menerpanya, bahwa sang ikhwan suka ‘memilih’. Entah bagaimana bisa tuduhan tanpa dasar ini bisa tercipta dibenak para rekayator .

Lalu, apakah benar kali ini saya sudah serius ingin menikah?, tanyaku kepada diriku sendiri. Padahal, niat ini sudah lama terpatri dalam sanubari, tertanam dalam jiwa…
Dulu saya bercita-cita memiliki ‘azam yang membara, umur 25 tahun statusku sebagai seorang lajang… akhirnya cita-cita terkabulkan…

Allah telah mengirim kepada seorang bidadari yang sepertinya baru saja turun dari syurga. Dia seorang akhwat yang shalihah, baik, cantik, pengertian dan tentunya seorang aktivis dakwah. Dia tinggal di Banda Aceh. Lahir dari sebuah keluarga yang sangat religi dan terhormat.

Tujuh(7) hari telah kulalui bersamanya, ada rasa tentram yang terus meliputiku. Ada rasa kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya, seperti sedang berada disyurga… begitu indah ternyata ketika hari telah terjaga. Ya Allah, jadikan keluarga kami sebegai keluarga yang sakianah, mawaddah wa rahmah. Amiin….

Penulis adalah seorang suami dan Pengantin Baru, mahasiswa pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Tinggal di Banda Aceh.