Jika ada yang bertanya, apa harta kami yang paling banyak dan berharga, bisa jadi jawabannya adalah buku. Di rumah kami yang tidak begitu besar, buku berserakan dan menumpuk di mana-mana. Dan dengan sendirinya, Faiz, putera kami satu-satunya, sejak bayi sudah akrab dengan buku. Di usianya yang baru menginjak sembilan tahun, dia telah memiliki perpustakaannya sendiri, walau buku-bukunya masih campur-baur antara komik dengan yang pengetahuan umum.
Malam tadi, sehabis isya, saya biasa menulis di depan komputer. Faiz dan Uminya mengerjakan PR di ruang tengah dan tamu yang disulap jadi ruang keluarga. Sambil menulis, saya mendengar alunan indah senandung “Amazing Grace” Nana Mouskouri dan “Only Time” Enya. Tiba-tiba Faiz bertanya padaku,
“Bi, ‘Oh Lame Saint’ itu Monalisa ya?”
Saya tidak kaget dengan pertanyaannya itu. Ketika liburan kemarin, Faiz memang menggunakan beberapa harinya untuk bermain The Da Vinci Code, sebuah game konsul PS2 yang dibuat berdasarkan novel serupa yang sangat fenomenal. Sebelum bermain PS2, Faiz saya ajak menonton filmnya dan juga membuka-buka lembar demi lembar novel Dan Brown tersebut secara cepat untuk memperlihatkan anagram dan kode-kode rahasianya. Dan yang sungguh mengejutkan, anak sembilan tahun itu sudah sanggup memecahkan beberapa kodenya, padahal saya sendiri kadang suka lupa.
Malam itu Faiz rupanya tengah menulis diary-nya dalam bahasa Inggris. Tentu, masih belepotan di sana-sini. Uminya sudah terlelap di sampingnya. Dalam diary tersebut Faiz bercerita bahwa dia suka sekali memecahkan kode dan memainkan game tersebut. Dia juga bertanya tentang Museum Louvre, Sophie, Robert Langdon, Sauniere, dan lainnya.
“Bi, Faiz mau ke Louvre dong….” katanya lagi. Saya tersenyum dan menasehatinya untuk terus membaca agar menjadi pintar dan kalau sudah pintar pasti bisa mewujudkan keinginannya itu.
Kami memang memiliki koleksi film dokumenter dan literatur yang cukup lengkap tentang Paris, Louvre, Da Vinci Code, Templar, Sion, dan juga Rennes Le Chateau, baik yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Perancis. Dan Faiz sedikit banyak sudah pernah (ikut-ikutan) menontonnya. Dia banyak bertanya tentang hal itu.
Malam itu, saya menyodorkan novel Da Vinci Code kepada Faiz. “Baca ini kalau mau tahu ceritanya…” Awalnya Faiz agak ragu melihat buku tebal tersebut. Saya meyakinkannya bahwa kisahnya sangat menarik dan tidak sulit. Sambil duduk di atas kasur dan menyandarkan badan ke dinding, Faiz mulai membacanya. Saya kembali tenggelam di depan layar komputer.
Sesekali saya melirik Faiz dan dia tetap asyik membaca. Malah kakinya disilangkan. Lembar demi lembar dilahapnya. Saya kembali asyik bekerja.
Beberapa saat lamanya saya terus menulis. Tiba-tiba saya melihat jam, sudah pukul sepuluh. Saya melihat Faiz. Dia sudah tergolek tidur dengan buku tebal itu di sampingnya. Saya lihat. Dia menandakan halaman 15. Saya terpaku pada satu kalimat dengan huruf capital: “TIDUR NYENYAK BAGAI BAYI DI KOTA PENUH CAHAYA. TIDURLAH DI RITZ, PARIS.” Faiz memang telah terlelap. Semoga dia mimpi indah, berkelana di selasar Louvre yang megah.
Saya mengecup keningnya. Tidurlah sayang…. Teruslah membaca.. hingga jendela dunia bisa kau buka lebar dan kau pun dapat terbang dengan sayap-sayap ilmu pengetahuan, hingga kau bisa tumbuh besar, menjadi bijak, dan mampu menjalani hidup ini dengan ikhtiar yang halal, karena kau pun tumbuh dengan segala yang halal dan thoyib. Teruslah membaca anakku….