Sebuah pintu kaca itu terbuka, aku hentakkan langkah di atas lantai berlapiskan karpet beludru itu. Pancaran air conditioner segera menyergap tubuh ini, memancarkan kesejukan setelah diri ini disuguhi panasnya udara di luar sana. Sejuk. Dan kini aku mampu menghirup sebuah kesegaran baru yang kini mulai menggelayuti seluruh raga ini.
Sebuah sapaan hangat sesaat kemudian telah menanti diri di depan sebuah meja front office sebuah gedung megah disatu titik kota Jakarta. Sebuah senyuman tak terlewatkan mengiringinya.
"Selamat pagi mas, apa kabarnya?"
Terasa santun di telinga ini, gaya bicaranya layaknya seorang yang telah begitu akrab dengan kami para pengunjung setia gedung tersebut. Tanpa beban, tanpa gurat kesedihan ataupun juga garis kepiluan dalam setiap tutur kata dan bicaranya.
Meskipun aku tak pernah tahu di balik semua itu, di balik senyumannya, di balik santun bicaranya, dan di balik keakraban gaya sapaannya. Hanya do’a semoga memang mereka senantiasa berada dalam kondisi yang sama antara apa yang tampil di raut muka dengan apa yang ada dalam hati serta pikir mereka.
Mungkin satu waktu kita bisa memahami bahwa itu memang sebuah tuntutan profesionalitas pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Untuk bisa tersenyum disaat mungkin kesedihan melandanya. Untuk bisa ceria disaat kepedihan menghantui sanubarinya. Dan secara tidak langsung ternyata memang itupun yang selalu kita tuntut hadir dari mereka, meski hanya untuk sekedar memberikan satu penghibur jiwa, disaat segala masalah berderet menjadi satu pasukan yang datang silih berganti ke dalam gerbang diri ini.
Namun satu tanya adalah, pernahkah diwaktu yang sama kitapun mencoba untuk mengerti mereka?, bukankah selayaknya kitapun mengerti bahkan memahami bahwa merekapun tak beda memiliki apa juga yang kita miliki baik itu hati ataupun jiwa. Yang setiap saat bisa luluh dan tersimpuh dalam segala dera masalah yang ada.
Teringat sebuah buku yang mengisahkan tentang mereka yang bernasib sama. Di mana lagi-lagi sebuah tuntutan profesionalitas kerja memaksa untuk dapat mampu berbuat seperti itu. Di mana bibir tersenyum walaupun sebenarnya hatinya menangis.
Namun yang menjadi satu ironi adalah apakah layak keberhasilan mereka untuk dapat menjaga penampilan mereka dihadapan kita, memberikan satu kecerian dalam hari-hari kita, memberikan satu kesan kesejukkan dalam rona-rona masalah yang ada dengan tetap berusaha tersenyum ramah kita nilai bak sebuah nilai kemunafikan? Sebuah nilai penipuan berhiaskan tebar pesona?
Sesaat diujung pelupuk mata ini terasa basah dengan sebuah tetes air mata.
Bukan karena aku terlalu lemah untuk menerima pandangan mereka. Bukan karena aku merasa kalah dengan segala sudut pandang mereka yang berujar demikian. Ataupun bukan karena aku terlalu egois untuk mempertahankan sebuah cara pandang dan emosi diri ini.
Aku hanya berpikir, begitu naifnya kita yang dengan mudahnya menghunjamkan sebuah tusukkan atas segala kesabaran mereka dengan sebuah umpat atau cibiran untuk menguatkan ungkapan bahwa mereka orang-orang yang pandai bermunafik ria. Pandai bermuka dua. Bahkan pandai membolak balikkan fakta.
Padahal bukankah ia, sang Iman Ali bin Abi Thalib -pun penah berpesan pada kita, untuk bisa selalu berbuat sesuatu yang dapat menggembirakan orang lain sebagaimana yang kita harapkan pula hal itu datang pada diri kita?
Jika memang demikian, maka bukankah selayaknya mereka juga telah memberi satu tauladan bagi kita untuk senantiasa berbuat yang sama. Menampilkan diri tetap ceria meskipun deru masalah masih tetap menggelayuti asa kita.
Semoga kita dapat dapat senantiasa mengambil satu demi satu hikmah dari setiap apa yang kita lalui. Sehingga kehidupan yang mengiringi langkah ini senantiasa berbuah barokah.
Aamiin yaa robbal’alamiin