“Wahai Imamnya orang-orang islam, aku menjadi orang asing di tengah-tengah mereka. Tidak ada yang mengingatku sama sekali walau hanya dengan kebaikan dan doa. Adapun mereka, ada anak, keluarga, dan kerabat yang mendoakan, yang mengirim pahala amal baik dan sedekah. Tiap malam jumat pahala semua itu sampai pada mereka.”
Ternyata pemuda ini bukan tidak memiliki keluarga, namun ia masih punya seorang ibu. Setelah kematian dirinya, sang ibu menikah lagi. Saat itu, ia bermaksud melaksanakan ibadah haji bersama ibunya. Namun sesampainya di Mesir, ia dijemput ajal. Lantas, setelah ibunya menikah lagi, ia tidak ingat padanya walau hanya sekedar mendoakan.
Sayyidina Tsabit merasa iba pada pemuda tersebut. Kemudian sang tabi’in ini bertanya lagi perihal ibunya,
“Wahai pemuda, beritahu padaku dimana ibumu tinggal. Aku akan sampaikan tentang keadaanmu.”
Pemuda itu langsung menjawab, “Wahai imam, Ibuku berasal dari kota ini dan ia tinggal di rumah ini. Sampaikan keadaanku padanya. Jika ia tidak percaya, maka sampaikan bahwa di dalam sakunya ada 100 mitsqol perak peninggalan ayahnya, dan itu adalah haknya. Ia pasti akan percaya.”
Sayyidina Tsabit Al-Bunani langsung mencari ibu pemuda tersebut. Ketika sudah ketemu, beliau menyampaikan tentang keadaan anaknya. Ibunya baru percaya ketika beliau menyampaikan pesan sang anak tentang warisan ayahnya.
Setelah dicari, ternyata 100 mistqol perak memang ada dalam sakunya. Ia langsung pingsan. Setelah siuman, ia serahkan semua uang itu pada Sayyid Tsabit untuk disedekahkan.
Pada malam jumat berikutnya, Sayyidina Tsabit mimpi bertemu dengan pemuda itu lagi. Kali ini ia sama dengan penduduk kubur yang lain. Ia berpakaian mewah dan nampak bahagia sekali. Lalu ia berkata pada Sayyid Tsabit,
“Wahai imam, semoga Allah SWT merahmatimu sebagaimana engkau telah mengasihiku. Sesungguhnya telah nyata bahwa keduanya bisa menyakiti yang ada di kubur saat berbuat maksiat. Sebaliknya keduanya akan membahagiakan ahli kubur bila melalukan kebaikan” [Sindo]
Wallahu A’lam.