Bulan Ramadhan, bulan sedekah. Mungkin itu menjadi penyebab mengapa di bulan ini jumlah pengemis bertambah. Setidaknya itulah yang saya temukan dalam perjalanan saya dari rumah menuju kantor.
Di sebuah pertigaan menuju Margonda, jika sebelumnya saya tidak melihat adanya pengemis, belakangan saya melihat kehadiran pengemis yang menghampiri pintu-pintu mobil yang sedang berhenti di kala lampu merah menyala. Melewati Universitas Pancasila di mana sering terjadi kemacetan, saya melihat beberapa pengemis berdiri di trotoar jalan.
Dengan wajah lusuh, pakaian yang sudah tidak bersih lagi, mereka mengulurkan tangan kepada setiap orang yang lewat, kepada sopir dan penumpang mobil yang sedang berhenti. Ucapan memohon belas kasihan dan meminta sedekah keluar dari mulut-mulut mereka.
Kita memandang mereka sebagai golongan yang dipinggrikan dan tidak dianggap. Padahal, kita pun mungkin termasuk ke dalam golongan mereka. Hanya saja kita berbeda. Mereka berpakaian lusuh dengan warna yang hampir pudar, kita adalah pengemis berpakaian rapi, bersih, dan adakalanya berdasi. Mereka tak beralas atau hanya bersendal jepit, kita memakai sendal mahal atau bersepatu mengkilat dengan merk-merk ternama. Mereka berjalan selangkah demi selangkah mencari sedekah, kita melaju kencang di atas sepeda motor atau mobil. Mereka meminta sedikit uang, makanan, atau minuman, sedangkan kita meminta apa saja yang kita mau, rezeki, jodoh, pekerjaan, prestasi, keselamatan, dan sebagainya. Mereka meminta tanpa memaksa, sedangkan kita sering memaksa agar apa yang kita minta harus menjadi kenyataan.
Para pengemis yang kita lihat, mereka meminta sesuatu yang mereka butuhkan kepada orang lain. Dari sisi itu mungkin menyebabkan kita memandang mereka dengan hina. Padahal, kita mungkin lebih sering meminta kepada Yang Maha Kaya. Semua yang kita inginkan terangkum dalam doa yang kita panjatkan. Memohon agar senantiasa kebaikan selalu datang menghampiri. Memohon agar keburukan dan kejelekan pergi menjauhi.
Namun, ada hal yang mungkin kita lupa meniru para pengemis itu. Tatkala tangan mereka diisi dengan kepingan atau lembaran recehan, segenggam beras, sebotol minuman, atau lainnya, keluar dari mulut mereka ucapan terimakasih, hamdalah, dan serangkaian doa kepada si pemberi. Bagaimana dengan kita? Ketika apa yang kita minta dalam doa hadir di hadapan, ketika yang kita cita-citakan berhasil diraih, adakah pujian kepada Sang Pemberi? Adakah rasa syukur mengiringi? Adakah harapan bahwa kelak segala ni’mat yang diberi akan ditambah lagi? Wallaahu a’lam.