Semilir angin malam ini membuat ototku beku. Otakku kelu tak berdaya. Sinar rembulan yang menggantung di cakrawala tak mampu menjadi penghangat bagi tubuh cekingku. Apalagi dengan kondisi rumahku yang hanya terbuat dari gedhek, tentu saja itu akan memberi kesempatan angin untuk melucutkan senapannya.
Di ruang kecil, gelap, dan pengap ini, Ibuku menghabiskan waktunya untuk mengendurkan otot. Hah…Terdengar suara katuk dari mulut Ibuku. Tepat pukul 9 malam, Ibuku memejamkan mata setelah sebelumnya sempat cerita-cerita tentang masa mudanya. Aku yang sejak ba’da Isya’ tadi berada di sampingnya hanya mengiyakan dan memandang wajahnya yang mulai keriput. Fikiranku malah melayang-layang jauh menjelajahi perekonomian keluargaku. Tak kuduga ternyata pipiku sudah basah digenangi air mata.
Ah, Ibu aku kagum dengan semangatmu. Tak pernah sama sekali kau keluhkan keadaan yang serba mepet. Tak pernah pula kau lepas landas tanpa izin Bapak, walau kau tahu kalau Bapak sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ya…karena usia Ibu dan Bapak yang terpaut cukup jauh 20 tahun. Itu menjadikan Bapak lebih terlihat sudah amat tua untuk seumuran Ibuku, bahkan Bapak lebih pantas menyebut Ibuku sebagai anak.
Dan kini Ibuku harus menjadi tulang punggung keluarga karena kesehatan Bapakku yang sudah tidak bersahabat. Sudah bertahun tahun Bapak hidup bersama darah tinggi. Naasnya sudah dua bulan terakhir ini vonis stroke jatuh kepadanya. Mungkin karena kebiasaan buruk Bapak semasanya mudanya dulu. Tak pernah melepaska batang rokok dari gengganman mulutnya. Karena tak ada biaya, terpaksa Bapak hanya sabar menanti dan ikhlas atas segala takdir yang akan menimpanya ke depan. Sebenarnya bukan hanya Bapak tapi kita semua, aku, Bapak dan Ibu.
“Ya Allah panjangkan umur Bapak Ibuku, ingin ku buatkan mereka istana kecil dan membebaskan masa tuanya dari lumpur sampah.”
Memang aku terlahir dari keluarga pemulung 15 tahun lalu. Namun, aku bersyukur aku masih bisa makan dua kali sehari. Tidak seperti tetangga sebelah yang hanya makan sekali dalam sehari. Kadang hatiku teriris melihat kondisi mereka. Tapi, apa boleh buat kondisiku saja tak jauh beda. Ku tabahkan hatiku dengan tak pernah memandang orang-orang yang diatas. Ku ikhlaskan semua ini karena aku dipaksa untuk itu. Tak ada guna walau bibirku sampai dower dan air ludahku sampai keringpun kondisi ini tak akan berubah tanpa ada uluran dan kepalan tangan. Kondisi yang lebih sering ku sebut takdirullah itulah yang mampu menyulapku dari gadis lugu menjadi gadis perkasa, menghipnotisku dari kehidupan luar yang serba wah.
***
“Pak, Ibu berangkat menjemput rejeki dulu ya. Doakan semoga hari ini Allah memberi yang lebih. Bapak baik-baik saja ya di rumah. Kalau Bapak lapar atau haus sudah Ibu siapkan semuanya di meja samping Bapak. Yang ikhlas ya pak. Jangan lupa selalu mengingat Allah di setiap hembus nafas,” seperti biasa Ibuku selalu minta izin dengan perkataan yang sama kepada Bapak sambil dengan mesra mencium tangan Bapak.
Bapakku hanya merespon dengan anggukan kepala. Karena untuk bergerak lebih Bapak tak mampu, apalagi bicara.
Masya Allah pemandangan apakah yang barusan kau suguhkan untuk ku Ya Rabb. Kesetian dari seorang Istri kepada Suami yang tiada terkikis oleh ruang dan masa. Istri yang senantiasa melayani Suami dengan segala kerendahan hati. Aku beruntung terlahir dari keluarga yang penuh cinta kasih. Tapi, dulu aku sempat berfikir apa hebatnya Bapak ya sampai-sampai Ibu mau menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk mengabdi kepada Bapak. Ibu yang cantik tak pernah yang tak pernah tersentuh oleh pria walau kaya dan gagah sekalipun kenapa mau dan cinta sama Bapak yang perokok akut, hanya tukang bangunan dan parahnya lagi tak pernah mengenal agama. Apakah pantas Surga diletakkan di pangkuannya?
Seperti itulah Bapak dulu ketika masa-masa jauh sebelum aku terlahir sebagai gadis mungil yang tegar. Bapak yang ku kenal sekarang adalah Bapak yang tak pernah menyentuh rokok dan tak pernah melalaikan sholat. Tapi rupanya dampak rokok itu begitu kuat sampai-sampai waktu 20 tahun saja tak cukup untuk meleburkan nikotin yang sudah terlanjur menjamur.
Sekali lagi, lain dulu lain sekarang.
Simpul senyum Ibu malam ini memang sederhana tapi efeknya sangat luar biasa untuk jiwaku. Jiwa yang sepi. Jiwa yang butuh tetesan embun kesegaran. Ditemani dengan lantunan syahdu tilawah dari radio ujung ruang kamar, kita makan malam bersama sambil bercengkrama ria. Kini aku tahu kalau keluarga adalah harta terindah, tempat dimana manusia ditempa dengan menu utama sebelum menginjak ke dunia luar.
Dan ternyata tanpa kasur empuk, makanan enak yang menguras kantong dan pendidikan tinggi entah sampai mana tingginya itu akupun papa, aku masih bisa tersenyum kepada dunia yang telah menyediakan kerikil-kerikil tajam untuk ku injak dengan kakiku yang berlumuran kotoran.
Kebahagiaanku saat ini adalah ketika umur Bapak, Ibu dan umurku berkualitas untuk selalu menghamba kepada-Nya. Ku lupakan segala anganku untuk berumur panjang, karena umur panjang tak menjamin iman dan ketaatan kita.
Bapak, Ibu terimakasih. []