Matahari menghamparkan sinar lembutnya sore itu. Saya, anak-anak dan khadimat menikmatinya sambil menunggu mobil kami yang sedang di cuci. Si Sulung Alif bermain skuter bersama kak Amah di halaman sekitar tempat pencucian mobil yang terlihat semakin ramai. Beberapa motor dan mobil yang lain berjejer menunggu antrian. Para pegawainya tampak kewalahan dengan pekerjaannya, namun, begitu menikmatinya. Sesekali mereka bercengkrama sambil tertawa-tawa. Indah!
Alif minta di belikan minum karena sudah kelelahan dengan skuternya. Azka adiknya pun mulai bosan duduk di pangkuan saya. Kami lalu berjalan menuju sebuah warung kecil yang terletak tepat di samping tempat pencucian mobil.
Beberapa meter menuju warung, nampak seorang pemuda sedang asyik berbaring di atas jalan raya. Nampaknya kurang waras. Pakaiannya dan wajahnya penuh dengan debu. Sesekali ia bergerak seperti berenang gaya katak di atas jalan. Senyum dan tawanya pecah setiap debu berterbangan menyapa wajahnya. Saya refleks langsung menyuruh anak-anak dan khadimat untuk beringsut mundur, apalagi ketika pemuda tersebut menatap ke arah kami. Seketika ia melambai-lambaikan tangannya seperti memanggil untuk mendekatinya. Ketika melihat kami berhenti melangkah, ia tertawa lalu melanjutkan aktivitasnya berenang-renang di atas jalan tersebut.
Kami bersegera menuju ke warung. Seorang ibu setengah baya menyambut kami dengan ramah. Setelah menyediakan minum dan kue yang kami pesan, beliau duduk di kursi kayu di teras warung. Sekilas saya perhatikan, matanya tak lepas dari pemuda yang sedang berenang tadi. Sesekali ia tersenyum sendiri. Ada sorot penuh cinta di matanya yang sayu. “apa pemuda itu anaknya, ya?”, bisik saya dalam hati. Tapi ah, entahlah, saya hanya menduga …
Tiba-tiba pemuda itu muncul, berdiri tepat di depan pintu warung. Matanya nanar menatap setiap kami, sambil meracau tak jelas. Saya langsung merengkuh anak-anak dan berkata kepada khadimat agar hati-hati. Takut bila ada hal yang tidak di inginkan terjadi. Cepat si ibu menghalau pemuda itu ke samping warung, lalu menggandengnya masuk lewat pintu samping. Tangannya sibuk mengibas-ngibas debu yang menempel di baju si pemuda dengan handuk. “Minum dulu, le”, ujarnya sambil menyodorkan gelas berisi minuman dingin. Tak berapa lama, si pemuda kembali berlari ke depan warung dan ‘berenang’ lagi di sana. Nampak si ibu melepasnya dengan senyum.
Sembari berlalu menuju kursi kayunya di depan warung, ibu itu berkata pelan;
“ Maaf ya, itu Joko anak saya. Ia memang kurang waras, senangnya ya begitu. Ndak usah takut, dia ndak suka mengganggu kok”.
Saya hanya menjawabnya dengan aggukan kepala. Ternyata benar dugaan saya, pemuda itu adalah anaknya. Saya jadi tidak enak hati. Mungkin beliau melihat ekspresi ketakutan saya ketika ada anaknya tadi.
“Maaf bu, saya ….”
“ Oh, ndak apa-apa. Saya maklum kok. Memang kalo orang tidak tau, takut sama dia”. Ujar beliau langsung memotong kalimat saya. Senyum kecil yang menyungging di sudut bibirnya membuat rasa tidak enak dalam hati sedikit menguap.
Tiba-tiba terdengar si Joko berteriak-teriak nyaring. Beberapa anak kecil berdiri di depannya sambil mengolok-olok. “Orang giillaaa…, orang giiilllaaaaa”. Mereka terus mengusik keasyikan si Joko yang sedang bermain debu. Ibu itu segera angkat kaki mendatangi anaknya. “Jangan di olok yo, le. Kasian kan, masnya sedang asyik mainan. Kalian main yang lain aja ya?” ujar beliau pelan kepada anak-anak yang berdiri. Sebagian lagi menurut dan menjauh, namun ada pula yang tetap bertahan dan terus mengejek. “Ih, sudah besar tapi main kotor. Orang gilaaaa….” Teriaknya terus mengolok. Si Joko yang tidak terima dibilang orang gila, seketika mengambil batu dan hendak melempar anak itu. Ibu itu dengan sigap meraih batu di genggaman anaknya sambil berkata “Jangan yo le, kasian adeknya. Dia gak tau kalo mas lagi main yo? Lagi main opo tho mas? Wih, lagi main berenangan? Ayo…, ayo…main lagi….”
Si anak yang sempat cemberut, seketika tersenyum kembali. Melanjutkan permainannya, berenang gaya katak sambil tertawa-tawa. Beliau baru beranjak pergi dari samping anaknya, setelah memastikan anak-anak kecil yang tadi mengganggu sudah berlari menjauh.
Subhanallah! Seketika hati ini gerimis dibuatnya. Sungguh saya hanya mampu tertegun tanpa kata melihat kejadian tersebut. Meresapi satu demi satu kalimat lembut yang penuh dengan kesabaran dari bibir si ibu. Mencoba mengandaikan diri ini yang menjadi beliau, apakah saya masih bisa bersabar? Apakah saya masih bisa lembut?
Banyak anak cacat mental dan fisik yang sengaja di jauhkan oleh orang tua mereka. Sengaja dibuang, atau tidak diakui keberadaan mereka, dengan alasan malu dan sebagainya. Tapi itu tidak terjadi dengan Joko, yang ada di depan saya. Ia termasuk anak yang beruntung. Ia sungguh beruntung karena memiliki ibu yang begitu mencintainya. Tetap sabar dan setia menemani tingkahnya.
Seseorang datang dan memberitahu bahwa mobil sudah selesai di cuci. Membuat kami bergegas meninggalkan warung. Uluran tangan saya pada si ibu ketika membayar tadi, dibalas beliau dengan sungguh erat. “ Kapan-kapan mampir lagi, ya”. Ujarnya sambil tersenyum. Saya membalas senyumnya mengiyakan.
Dari balik kaca mobil, saya melihat si ibu masih duduk mematung di kursi kayunya sambil memandang anaknya yang nampak semakin asyik menikmati debu. Berguling-guling sambil tertawa riang. Ah, ibu, apa kiranya yang sedang berkecamuk dalam pikirmu? Masihkan ada terselip asa dan harap atas buah cinta yang sedang kau pandangi? Senyum yang mengembang di sudut bibirnya seolah menjawab tanya saya. Di ufuk barat, matahari sudah tergelincir, menyisakan bias warna kemerahan pada tumpukan awan diatasnya.
* Catatan kecil untuk seorang ibu yang telah mengajari saya satu ayat tentang cinta. “Terima kasih, bu. Semoga Allah SWT berkenan mengembalikan sinarNya untuk permata hatimu. Amiin”.
http://yunnytouresia.multiply.com