Pengalaman ini sebenarnya bagian dari catatan kecil saya di hari Idul Fitri kemarin. Sebuah pelajaran berharga yang saya dapatkan dari seseorang yang sangat sederhana, pelajaran tentang semangat bersilaturahmi dan menjaga hubungan baik dengan saudara-saudara yang tinggalnya berjauhan.
Meski sebenarnya ia pantas aku panggil nenek atau mbah, karena usianya yang sudah 70 tahunan, tapi kami semua biasa memanggilnya Bik (dari kata bibi) Nar. Meski umurnya sudah katagori manula, dan postur tubuhnya kecil dan kurus, Bik Nar masih tampak sehat dan kuat. Tak sedikitpun terbersit dari sosoknya bahwa ia adalah orang tua yang sudah lemah dan sakit-sakitan. Bahkan Bik Nar masih kuat berjualan kecil-kecilan untuk menghidupi dirinya sendiri, dan tak pernah bergantung pada bantuan orang lain, maupun dari anak-anaknya sendiri.
Satu yang saya perhatikan dari Bik Nar adalah semangatnya untuk selalu datang dalam setiap acara keluarga, entah itu hajatan pernikahan, arisan atau pada hari-hari besar seperti Idul Fitri atau Idul Adha, beliau selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah kami, dan yang saya tahu ia juga berkunjung ke saudara-saudaranya yang lain yang notabene usianya lebih muda dari beliau. Meski orang tua, ia tak pernah menunggu atau berharap dikunjungi, tapi selalu berinisiatif untuk lebih dulu berkunjung. Tak peduli, lokasi yang ia akan kunjungi cukup jauh dari rumahnya, yang tentu saja membutuhkan ongkos yang tidak murah bagi seorang pedagang kecil seperti Bik Nar. Hebatnya lagi, beliau pasti selalu membawa buah tangan jika datang ke orang yang dikunjunginya.
Awalnya, saya menganggap hal itu hal yang biasa. Anggapan saya berubah, ketika saya berpikir bahwa mungkin beliau mau datang, khususnya ke rumah saya, karena kedua orangtua saya masih hidup. Tapi anggapan saya itu meleset, karena beliau tetap berkunjung ke rumah kami setiap Idul Fitri, meski kedua orang tua saya sudah tiada. Dan rasa salut saya makin bertambah, ketika pada Idul Fitri kemarin, Bik Nar rela menunggu berjam-jam di rumah kami, sampai kami pulang dari bersilahturahmi ke seorang kerabat.
Kami sempat beberapa jam berbincang-bincang, dan dari beliaulah kami mendapat kabar tentang kerabat-kerabat kami yang lain. “Yah, ini kan Lebaran, setahun sekali enggak apa-apa lah keliling-keliling ke sanak saudara. Mumpung masih kuat …” kata Bik Nar.
“Silahturahmi malah bikin saya tambah sehat, karena hati seneng ketemu saudara-saudara, ” sambungnya.Tiba-tiba saja seperti ada yang meninju hati saya, mendengar kata-kata Bik Nar. Selama ini, saya hanya kepikiran untuk berkunjung ke saudara-saudara dekat saja, terutama pada saat Idul Fitri, dan tidak pernah berkunjung ke sanak saudara lainnya dengan alasan rumahnya jauh lah, enggak sempat lah, sudah keburu masuk kantor lah. Kunjungan pada saat Idul Fitri juga terkadang hanya sebagai ritual formal, tanpa ada semangat silahturahmi yang memiliki makna mendalam. Dalam artian, kalau bukan Lebaran, mungkin kita mikir-mikir dulu kalau mau berkunjung ke tempat saudara. Bahkan mungkin dengan ego tinggi, kita kadang enggan mengunjungi sanak saudara yang usianya lebih muda dari kita. “Dia dong, yang lebih muda datang ke yang lebih tua, ” kita mungkin pernah mengucapkan kata-kata ini.
Melihat semangat Bik Nar bersilahturahmi, saya jadi malu hati sendiri. Seharusnya saya lah yang menyempatkan diri untuk mengunjungi beliau. Saya malu hati, karena, betapa saya yang masih muda, yang seharusnya lebih punya banyak energi untuk menjaga silahturahmi, ternyata tidak punya semangat sebesar yang dimiliki Bik Nar, yang sudah manula, orang yang sangat sederhana dan pendidikannya pun tidak tinggi.
Bik Nar, di hari Idul Fitri kemarin, telah menginspirasi saya untuk menyediakan waktu atau lebih tepatnya menyempatkan diri memperbanyak silahturahmi. Saya pun mengajak keluarga besar saya untuk berkunjung ke rumah beberapa sanak saudara yang selama ini hanya kami “sambangi” lewat telpon, termasuk berkunjung ke teman-teman lama saya.
Sungguh, saya betul-betul menikmati dan puas dengan Idul Fitri kemarin. Ternyata benar apa kata Bik Nar, bahwa silahturahmi membuat kita sehat, sehat rohani utamanya. Karena meski saya merasa lelah fisik karena harus naik turun bis ke tempat teman atau saudara, tapi hati saya merasa bahagia dan gembira, karena dalam setiap pertemuan selalu ada kisah-kisah baru, canda dan tawa. Terimakasih Bik Nar, karena telah menularkan semangat silahturahmi pada kami.
Jakarta, 11 November 2007.
Rubina_zalfa@yahoo. Com