“Anak-anak, coba renungkan apa yang paling kamu inginkan dalam hidup ini ?” begitulah pertanyaan sorang ustadz yang sehari-hari mendampingi para santri kelas satu sebuah sekolah menengah pertama boardingschool di Bandung. Aghil (keponakan suamiku ) menjawab “saya ingin terbang ke surga”. Teman-temannyapun tertawa, karena mereka pada umumnya menjawab sewajarnya anak-anak belia “ke mall, ke luar negeri, ketemu artis, dll”.
Sang ustadz pun menanyakan kembali dengan pertanyaan yang sama. Jawaban aghil juga sama “aku ingin terbang ke surga”. Hingga diulangi untuk yang ketiga kalinya bocah berusia 12 tahaun itu masih menjawab dengan jawaban yang sama dan wajahnya tidak menunjukkan bercanda.
Kisah diatas dituturkan sang ustadz pada saat melayat Aghil. Tidak ada yang menyangka kepergiannya begitu cepat. Setelah satu minggu di rumah sakit, penyakitnya baru terdiagnosa “tumor ganas kalenjar getah bening”. Malam seteleh terdiagnosa dia muntah darah dan mengelurkan darah dari hidungnya. Pagi sebelum sholat subuh Allah telah memannggilnya. Suasana menjadi mengharukan bukan karena dia mati muda tapi proses menuju dia meninggal insyaAllah adalah perjalanan yang khusnul khotimah.
Teman-temannya bercerita bahwa hampir setiap malam di pesantrennya dia sering menagis karena giginya seperti mau lepas. Hinggga ketika sudah tidak tahan merasakan sakit barulah pulang dan opname. Saat masa mendiagnosis penyakitnya, Aghil mengeluarkan segala isi hati yang menjadikan rasa bersalah dan penyesalan kedua orangtuanya. ” Bu, Aghil mau curhat, sakitnya Aghil ini karena Azab. Aghil sebenarnya tidak mau masuk pesantren, jadi di pesantren Aghil bertemannya sama anak-anak yang nakal, anak-anak yang bodoh. Aghil minta maaf ya bu kalau Aghil salah”. Ibunya pun berurai air mata, bukan karena kesalahan sang anak, tapi karena menyesal tidak mengetahui keinginan sang anak, menyesal karena anaknya sampai takut menyampaikan isi hatinya, menyesal karena tidak memenuhi janjinya.
Sebelumnya mereka pernah berjanji memenuhi keinginan Aghil untuk les gitar saat SMP. Tapi janji itu ditunda menungggu prestasi Aghil di pesantren. Seiring perjalanan di pesantren Aghilpun berkata ”Pak, saya ndak usah les gitar, mahal, nanti juga bisa dikeluarkan dari pesantren”.
Aghil yang sehari-hari terlihat kekanak-kanakan menjadi begitu dewasa menjelang akhir hidupnya. Dia diberi kesempatan bertaubat, meminta maaf pada orangtuanya, menyampaikan cita-cita tertinggginya. Cita-cita yang mengalahkan keinginannnya untuk menjadi artis dan dapat uang banyak (Cita-cita inilah yang mengkhawatirkan sang Ibu).
Sebelum sakit Sang Ibu merasa Aghil jauh dari dunianya (kedua orangtuanya pendidik). Sang Ibu tidak memiliki jiwanya sebagaimana sang ibu bisa menjiwai kedua kakaknya. Sang Ibu yang menyesal mengapa semasa kecil Ia begitu nyaman menitipkan Aghil pada khodimat. Khodimat yang menurutnya sangat baik. Khodimat yang akhirnya menguasai jiwa Aghil.
Saat sang Ibu bisa mengerti isi hatinya, Ia diberi pilihan berdoa ”Antara mendokan bertahan hidup atau menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik ruh” . Menjelang tengah malam Ia masih berdoa agar Aghil diberi kesembuhan, namun ketika melihat kondisi Aghil yang kesakitan, darah yang terus keluar, hatinyapun luruh, doanya berubah “Ya Allah berilah yang terbaik untuk anakkku”. Doa di pertiga malam terakhir ini dijawab menjelang subuh, aghil dijemput sang Jibril. Innalillahi wa innna ilaihi roji’un. InsyaAllah Aghil meninggal dengan jalan khusnul Khotimah, InsyaAllah keinginannnya untuk terbang ke surga tercapai.
Ayah Aghil berusaha menegarkan keluarga. “Jika kita ingin bergandengan tangan dengan Aghil di surga maka kita kita harus sekualitas dia”. Pun Sang Ibu selalu mewanti-wanti pada keluarga dan kerabat ”rawatlah anakmu baik-baik jangan serahkan dia pada orang lain, pahami keinginannya jangan paksakan dia pahami keinginan kita”.