Di saat setiap orang menjauh melihatmu dalam kesedihan, Di masa semua orang meninggalkan dirimu dalam kesendirian Terasa semakin berat bebanmu…
Terasa semakin sesak dadamu…
Menghadapi cobaan…
Di waktu setiap desah nafasmu terasa berat karena kepedihan Dikala setiap tetes airmata yang kau tahan karena mencoba bertahan Semua akan ada akhirnya…
Semua akan membuatmu berlapang…
Menghadapi cobaan…
(Shaffix – Terpuruk)
Tidak selamanya kesengsaraan dan penderitaan itu hina dan dibenci. Terkadang kesengsaraan justru menimbulkan efek positif seorang hamba. Doa yang penuh harap muncul dari kesengsaraan dan tasbih yang tulus datang dari hati yang tersakiti. Begitu juga penderitaan dan beban yang dialami seorang pelajar untuk menuntut ilmu. Akhirnya, akan membuahkan hasil menjadi seorang ilmuwan besar. Demikianlah, karena dia rela terbakar awalnya, berkilaulah akhirnya.
Ada juga seorang penyair yang merasakan pilu karena penderitaan. Namun, akhirnya menghasilkan karya sastra yang mengagumkan. Sakit hatinya telah menyentuh hati dan urat saraf serta membuat darahnya bergemuruh. Kemudian, gejolak jiwa itu mengarahkan intuisinya untuk merangkai kata-kata yang indah. Begitu juga seorang penulis, setelah melalui berbagai penderitaan dalam hidupnya, akhirnya dia menghasilkan karya yang mengagumkan dan terus tergambar dalam ingatan.
Seorang penyair yang tidak pernah merasakan sakit dan pahit getirnya kehidupan maka syair-syairnya akan terasa hambar. Syair hanya berisi kumpulan peristiwa murahan dan untaian kata picisan karena dari lisan bukan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Berpuisi dengan rasionya tanpa melibatkan hati dan perasaan.
Sebelum mencapai puncak kearifan, Imam al-Ghazali terlebih dahulu bermujahadah dengan berat. Beliau mengembara menuntut ilmu, beribadah dengan penuh kekhusyuan, kadang bertafakur seorang diri. Kegelisahan jiwanya dalam mencari kebenaran membuat seorang dokter memvonisnya menderita penyakit saraf kronis. Biarpun begitu, Allah tidak menyia-nyiakan usahanya itu. Kemudian, menunjukkan jalan yang benar ke arahnya. Dari sanalah karya-karyanya yang tercetak hingga kini bermunculan; Ihya Ulumuddin, Mungidz min Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Kimya as-Saadah, dan sebagainya.
Imam Ibnu Taimiyah – seorang ulama besar pengusung panji kebenaran dan ketakwaan – menyelesaikan beberapa karyanya di dalam penjara. Ketika penguasa dzalim menyingkirkan penanya, beliau tetap menulis walaupun dengan arang. Kita hanya tahu kitab Majmu Fatawa itu tebalnya satu setengah meter, tapi kita tidak tahu bahwa sebenarnya sebagian besar buku itu ditulis ketika beliau berada dalam penjara.
Sayyid Quthb mampu menuliskan karya terbesarnya, Tafsir Fizhilalil Quran, ketika dalam keadaan terhimpit penderitaan. Di siksa dalam penjara lantas dihukum mati. Di dalam penjara itu juga, beliau menulis sebuah buku kecil yang konon adalah buku the best of best seller di Timur Tengah dan paling ditakuti pemerintahan otoriter, yaitu Ma’allim fith Thariq.
Prof. HAMKA adalah sosok ulama yang senantiasa konsisten di jalan Allah, mampu menyelesaikan kitab tafsirnya yang paling fenomenal dan berjilid-jilid tebalnya, Tafsir al-Azhar, ketika beliau berada di dalam penjara.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi – ulama terkemuka saat ini – dengan terpaksa harus berhijrah dari Mesir ke Qatar karena pemerintah otoriter Mesir saat itu memburu para aktivis Islam dan menjebloskannya ke dalam penjara. Namun, di sana beliau mampu menyusun kitab Fiqh Zakat, yang menurut Abul A’la Maududi merupakan kitab yang paling bagus pada abad ke-20.
Dr. Muhammad al-Ghazali – guru dari Dr. Yusuf al-Qaradhawi – juga dengan terpaksa hijrah ke Madinah al-Munawarah. Di sana beliau habiskan waktunya dengan membaca, menulis, merenung, dan berdakwah. Beliau berhasil merampungkan karya terbesarnya, Fiqh Sirah. Kitabnya itu ditulis di depan makam Rasulullah. Setiap kali memulai menulis, setiap kali itu pula beliau menangis mengenang perjuangan agung Rasulullah.
Zainab al-Ghazali adalah sosok mujahidah terkemuka yang lahir di abad ke-20. aktivis Ikhwanul Muslimin ini pernah mengalami berbagai bentuk siksaan dan penderitaan yang mengerikan, sebagaimana diceritakannya dalam bukunya yang berjudul Ayyamun Min Hayati (Hari-Hari dalam Kehidupanku). Buku tersebut menggambarkan hari-hari yang dilakukan oleh si penulis selama di balik terali besi. Setiap huruf, kata, kalimat, dan lembar yang terdapat di dalam buku tersebut adalah refleksi dari perasaan yang mendalam. Proses penyiksaan demi pemyiksaan yang dialaminya, semua ia ungkap dalam buku tersebut. Dari buku terungkap, bahwa orang-orang yang telah menjalani masa penahanan, lebih mampu mengungkapkan penderitaan, kesabaran, dan ujian yang dihadapinya. Bahkan, ia adalah orang yang paling mampu menggambarkan berbagai tragedi yang dialaminya melalui penanya yang ikut terluka.
Dr. Aidh al-Qarni pernah di penjara karena pernyataan-pernyataan politik yang ditulisnya dalam sebuah syair. Namun di sana beliau menghabiskan waktu untuk membaca, merenung dan menulis. Karyanya yang memukau jiwa dan mengguncang dunia, La Tahzan, ternyata di tulis ketika beliau di dalam penjara. Buku itu menggambarkan kepiluan hatinya dan bagaimana beliau mencari jalan sesuai dengan petunjuk-Nya. Buku itu kini telah dicetak dua juta eksemplar di seluruh dunia. Beliau juga dianugerahi penghargaan pemerintah Arab Saudi sebagai penulis paling produktif di Arab Saudi.
Harun Yahya – pejuang dan ilmuwan terkemuka Turki – terpaksa digiring masuk penjara selama bertahun-tahun. Bahkan, beberapa bulan lamanya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Namun, di sana dia mampu bersabar dan tawakal kepada Allah hingga bisa menyelesaikan banyak buku yang salah satunya mengenai perjalanan hidup Nabi Muhammad. Beliau sendiri sering berkata kepada sahabat dan murid-murid yang menjenguknya dari kejauhan, “Jangan bersedih. Sesungguhnya Allah beserta kita.” Pada tahun 2000, beliau dianugerahi majalah ilmiah terkemuka saat ini, New Scientist, sebagai “Pahlawan Dunia” karena dengan gemilangnya berhasil mengungkap kebohongan teori evolusi. Kini Harun Yahya juga termasuk dalam jajaran penulis paling produktif di dunia, karyanya sudah mencapai 200 judul!
Mereka itulah orang-orang agung karena mereka mampu menjadikan penderitaan sebagai perantara sebagai ketinggian. “…Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. at-Taubah: 120).
Sesungguhnya nasihat yang baik pasti akan menyentuh hati yang paling dalam dan meluluhkan jiwa. Nasihat yang demikian dapat ditulis menjadi buku karena pengarangnya pernah mengalami perjuangan panjang dan kepedihan hidup. “…Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. al-Fath: 18).
Chandra Kurniawan