SUATU sore, suara azan ‘Ashar sudah terdengar ramai bersahut-sahutan, memanggil manusia untuk jeda sejenak dari aktivitasnya. Menghadap Sang Pencipta untuk mengingat-Nya. Akan tetapi, dari masjid tak jauh dari kos saya belum terdengar panggilan paling mulia itu.
Kemudian saya berangkat ke masjid. Mengumandangkan azan dan shalat sunah dua raka’at. Sampai beberapa saat setelahnya, belum juga ada seorang pun yang datang ke masjid. Hingga ketika datang seorang mas-mas, saya langsung qomat.
Dari penampilan mas itu yang hanya mengenakan kaos oblong lengan pendek dengan tulisan memenuhi punggungnya, saya bisa menebak kedalaman ilmu agamanya. Sekadar basa-basi, saya tawari mas itu untuk menjadi imam. Di luar dugaan saya, ternyata dia tidak menolaknya seperti kebanyakan orang. Mas itu langsung maju ke depan menjadi imam dengan pedenya. Dan, jadilah saya yang memakai kemeja lengan panjang dan sarung makmum pada mas tadi yang ‘hanya’ mengenakan kaos oblong lengan pendek dengan tulisan-tulisan besar memenuhi punggungnya.
Setelah mas itu takbiratul ihram, iseng saya baca tulisan-tulisan besar di punggungnya itu. Maaf, tulisan itu berbunyi—sekali lagi maaf:
SEGOBLOK-GOBLOKNYA ORANG GOBLOK, MASIH LEBIH GOBLOK LAGI ORANG YANG MEMBACA TULISAN INI. APALAGI MEMBACANYA DENGAN SUARA KERAS.
Setelah membacanya, entahlah, saya selalu berusaha untuk mengingatnya meskipun sudah masuk dalam shalat. Hingga ketika salam pun, saya tidak dapat melupakannya begitu saja. Bahkan, saya malah berusaha untuk menghafalkannya.
Seorang bapak yang datang belakangan juga sempat-sempatnya mengingatkan si mas tadi secara khusus dengan menunggunya sampai selesai berdoa, sebelum beranjak meninggalkan masjid. Berarti bapak itu juga merasa terganggu oleh tulisan di pungungnya itu.
Pelajaran apa yang kita peroleh dari kejadian di atas?
Mas itu–dan mayoritas umat Islam pada umumnya, belum begitu memahami adab-adab shalat, terutama yang berkenaan dengan masalah pakaian. Cukup mengenakan kaos oblong, yang penting suci dan menutup aurat. Bukankah itu syarat sahnya shalat?
Tetapi, bukankah Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan? Ada cukup banyak hadis yang memerintahkan kita untuk memakai pakaian yang paling bagus (berwarna putih) ketika akan shalat. Hingga Al-Qur’an pun mengabadikannya di salah satu ayatnya. Bukankah ketika kita shalat, hakikatnya kita sedang berdiri di hadapan-Nya?
Kalau kita mau jujur, ketika akan berangkat ke sekolah, ke kampus atau ke tempat kerja yang notabene hanya akan berhadapan dengan makhluk-Nya, kita selalu berusaha untuk tampil perfect. Dan, tentunya dengan mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki.
Kita memerlukan waktu sekian menit untuk dandan, berlenggak-lenggok di depan cermin, menyisir rambut, meminyakinya, dan memakai minyak wangi. Belum lagi menyemir sepatu dan segala tetek-bengek lainnya yang kadang membuat kita sampai pusing sendiri.
Bukankah dengan demikian, secara tidak sadar kita telah mengesampingkan pertemuan agung dengan Allah Swt., Sang Khalik, dan lebih menghargai pertemuan dengan mereka yang sekadar hamba-Nya, makhluk-Nya yang tidak kuasa apa-apa?
Lantas, di manakah kita letakkan rasa malu kita?
***
16 Mei 2oo2
http://setta.blog.friendster.com