Curah hujan beberapa hari terakhir ini terasa cukup tinggi. Hujan hampir terjadi setiap hari dengan durasi yang cukup panjang. Terkadang, hujan reda untuk beberapa saat, namun kembali turun beberapa saat kemudian. Banjir telah terjadi di beberapa kawasan, dan kekhawatiran bakal terjadi banjir besar makin terasa.
Suatu hari saya hendak pergi ke suatu tempat di sekitar Pasar Rebo. Di tengah kondisi cuaca yang lagi kurang bersahabat itu, saya putuskan naik angkot saja. Kebetulan lokasi tujuan bisa dicapai dengan sekali naik angkot saja jurusan Kampung Rambutan.
Hari masih reda dari hujan ketika saya berjalan menuju jalan raya. Tidak lama kemudian datanglah sebuah angkot dengan tempat duduk bagian depan yang masih kosong. Alhamdulillah, saya mendapatkan posisi tempat duduk di depan yang saya idamkan, sehingga saya bisa leluasa menyaksikan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Di sepanjang perjalanannya, Sang Supir berhenti beberapa kali menaikkan dan menurunkan beberapa penumpang. Ketika sampai di Tamini Square, turunlah seorang gadis, berperawakan gemuk namun berwajah masih kekanakan. Saya kira seusia SMP atau awal SMA. Di tangannya tergenggam sebuah handphone. Ia menyodorkan selembar uang biru (lima puluh ribuan) kepada Sang Supir,
“Bang, ini Bang!” ujarnya.
Bang Supir menerima uang biru limapuluh ribuan dan memeriksa uang yang diperolehnya apakah cukup kembaliannya atau tidak. Sementara itu, sang gadis menunggu uang kembalian sambil memainkan keypad handphonenya.
“Uang kecil aja neng, ngga ada kembaliannya. ” Sang Supir menyodorkan kembali uang biru itu, namun langsung dibalas dengan sahutan cepat dari sang gadis,
“Ngga ada bang!”
“Tukar aja dah di situ, saya pinggirin dulu mobilnya. ”
Di depan Tamini Square itu saya beberapa pedagang minuman dan asongan. Supir itu memberitahu gadis itu agar menukaran uang birunya ke sana. Sebentar kemudian, gadis itu kembali dan berujar,
“Ngga ada Bang!”
Dia berkata seakan menyerah padahal saya lihat dia belum berusaha optimal mencari orang yang bisa ditukar uangnya. Maka tak pelak lagi, Sang Supir dhuafa yang membutuhkan uang itu merebut uang biru itu kembali,
“Sini dah saya tukarin!”
Ia mematikan mesin mobil, turun kemudian berjalan ke arah rekan-rekan Supir yang kebetulan lagi nge-team atau sedang berhenti menurunkan penumpang. Sayangnya, tidak ada dari mereka yang memiliki uang kecil sejumlah uang biru itu. Karena gagal, sang Supir pun kembali naik ke mobilnya, menghidupkan mesin dan menyerahkan kembali lembar uang biru itu kepada si gadis.
“Ini dah, ngga usah bayar aja daripada susah!”
Anehnya gadis itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun langsung ngeloyor pergi. Sang Supir pun mulai mengeluh. Apa mau dikata, ia memang baru narik mobil dan baru mengumpulkan beberapa puluh ribu saja.
Demi menghiburnya aku mencoba menimpali,
“Bang emang berapa ongkos yang seharusnya dia bayar?” Saya bertanya lugu, maklum saya jarang menggunakan angkot dan di mobil pun tidak terpasang rute beserta ongkos seperti yang pernah saya lihat.
“Tiga ribu. ” Supir itu menjawab.
“Sering kejadian seperti itu Bang!?” Saya bertanya dengan maksud apakah sering terdapat penumpang yang membayar dengan uang besar kemudian tidak ada kembaliannya.
“ Kalau dah lama nariknya sih, ada aja kembalian. Ini kebetulan aja baru narik. Wah lumayan juga kalau tiga kali kejadian sudah sepuluh ribu. ”
Saya kembali diam. Sang Supir melanjutkan perjalanannya. Dalam hati saya berenung, uang sejumlah itu (tiga lembar ribuan), bagi orang tertentu memang kelihatan kecil. Tapi saya merasakan uang itu sangat berarti baginya. Buktinya, sejak awal ia meminta gadis itu menukarkannya dengan kecil kecil, ia juga sudi meminggirkan mobil demi menunggu gadis itu. Kemudian tatkala gadis itu gagal mendapatkannya, ia rela turun dari mobil dan menukarkannya sendiri dan membiarkan penumpang yang masih ada untuk menunggu. Sangat terasa, uang itu amat dibutuhkannya. Boleh jadi, uang itu cukup buat sekali makan menyambung kehidupan, atau cukup buat dibelikan mainan atau kue yang menyenangkan anaknya, atau cukup buat uang jajan sekolah anaknya untuk tiga hari, atau cukup untuk hal-hal yang bagi kita rasanya tidak akan cukup.
Ketika saya turun dan membayar tarif yang harus saya bayar. Saya tidak lupa menyertakan uang tiga ribu sebagai tambahan, untuk mengganti ongkos gadis yang tidak bisa membayar dengan uang birunya itu,
“Pak, ini yang tiga ribu buat ongkos Mba yang tadi. ”
“Oh, makasih ya Mas!”
Sang Supir tentu saja tidak menduga hal tersebut. Senyumnya sumringah dan matanya berbinar-binar. Saya berbalik menuju tempat tujuan dan membiarkannya tenggelam dengan kesyukuran. Sejumlah uang yang kadang kita begitu menyia-nyiakannya, ternyata mampu membahagiakan jiwa seseorang. Saya diingatkan akan adanya nilai tertentu selain nominal, yaitu nilai instrinsik yang saya terjemahkan dengan nilai keberkahan.
***
Waktu awal kejadian, ketika sang gadis menyodorkan uang biru itu dan Sang Supir mengatakan tidak mempunyai kembalian, sebenarnya saya sudah merasa ditegur untuk berinfaq kepada sang gadis yang tidak memiliki uang kecil itu. Namun entah kenapa hati ini tertahan untuk menghulurkan bantuan dan membiarkan kejadian itu mengalir apa adanya sehingga saya mengetahui ujungnya. Dan ternyata dengan membiarkan kejadian itu mengalir dan sampai pada ujungnya, saya mengambil beberapa hikmah kehidupan.
Pertama, berbuat baik itu membutuhkan pengorbanan. Saya merasakan tiadanya pengorbanan yang cukup kuat dari gadis itu untuk menyenangkan hati Sang Supir. Terbukti dia hanya mengunjungi satu penjual saja, padahal agak jauh dari situ ada beberapa penjual yang saya yakin memiliki uang kembalian. Saya memiliki pengalaman serupa ketika khilaf tidak membawa uang kecil karena terburu-buru, saya berusaha mencari uang kecil dengan cara membeli apa saja, entah minuman atau kue. Dan biasanya sang penjual pasti memiliki uang kembalian atau pasti mau mengusahakan uang kembalian.
Untuk membayar ongkos tiga ribu dan menyenangkan Sang Supir, boleh jadi akan keluar uang lebih banyak untuk menukarkan uang besar. Rasanya sayang. Tetapi alangkah lebih berdosanya jika sampai terjadi Sang Supir membebaskannya dari ongkos. Bukankah sama saja dengan meminta iba dari orang yang lemah? Padahal jika uang yang di belanjakan diniatkan untuk menyenangkan hati orang, dan disadari bahwa hal itu sudah menjadi ketentuan Allah Swt, maka tidak ada alasan untuk membelanjakannya demi mendapatkan uang kembalian.
Kedua, berempati menjadikan segala urusan lebih mudah. Andai sebelum keberangkatan sang gadis menyadari akan dampak tidak membawa uang kecil yang bisa menyulitkan orang lain, tentu sejak awal ia akan mempersiapkannya. Andai sang gadis menyadari betapa berharganya nilai tiga ribu rupiah bagi Sang Supir, tentu ia akan berusaha mencari uang kembalian. Namun semua itu tidak dilakukannya karena boleh jadi sensifitasnya masih rendah dan daya empatinya masih tipis. Barangkali dia memang masih kanak-kanak, jika bukan karena fisiknya tentu karena kematangan psikisnya yang masih seperti anak-anak.
Ketiga, berinfaq kadang berawal dari sebuah kejadian yang bisa jadi adalah wujud teguran dari Allah Swt untuk berinfaq. Betapa banyak kejadian yang mirip di atas yang mengharuskan seseorang menyodorkan uang, seperti adanya pengemis yang datang ke rumah, tukang ngamen yang datang ketika sedang makan di kaki lima, dan pengemis yang mencolek-colek minta belas kasihan ketika di pasar. Bagi sebagian orang, berinfaq kepada mereka bisa menjadikan mereka malas. Namun untuk melarang untuk orang berderma, rasanya bukanlah ajakan yang tepat. Pahala dari si dermawan tidaklah berkurang andaikan yang dikasihinya itu ternyata adalah bukan benar-benar dhuafa melainkan hanya berpura-pura. Sisi pandangnya haruslah dilihat dari si peminta-peminta itu. Hal ini lebih relevan dengan sisi ajaran Islam yang memandang hina pekerjaan meminta-minta, dan sangat menganjurkan untuk tidak menjadi peminta-peminta.
Jadi apapun bentuk mengharap belas kasihan baik secara langsung (seperti Supir) maupun tidak langsung (seperti pengemis), adalah wujud teguran Allah Swt bagi kita untuk berinfaq. Boleh jadi, hal itu adalah mekanisme Allah dalam pengaturan rezeki, di mana masing-masing rezeki itu telah memiliki alamat-alamatnya. Atau sebuah teguran bahwa harta kita masih ada hak orang lain yang harus ditunaikan, atau boleh jadi wujud belai kasih Allah Swt sehingga dimudahkan pintu-pintu untuk berbuat kebajikan.
Dan bagi saya kejadian itu adalah wujud teguran, yang biasa berdimensi dua hal sekaligus, yaitu teguran untuk berinfaq dalam rangka membersihkan hati atau teguran untuk berlomba memanfaatkan pintu kebajikan.
Semoga Allah Swt selalu memudahkan kita untuk senantiasa berinfaq. Amin.
Waallahua’lam.
(rizqon_ak @eramuslim. Com)