Hari Selasa itu, saya mengantar ibu Siti pulang ke Madura. Ibu Siti adalah seorang miskin yang hidup sebatang kara di Maluk – Sumbawa – NTB yang menderita sakit dan akan diamputasi karena menderita luka borok yang parah di kakinya. Atas inisiatif saudara-saudara di sini, kami mengumpulkan uang untuk membantu pengobatan ibu Siti dan untuk mengirim beliau pulang ke Madura.
Sewaktu di rumah sakit saya diberi tahu bahwa si ibu ini kurang enak makan selama tiga hari terutama setelah beliau mengalami kelebihan cairan karena terlalu banyak infus yang masuk selama perawatan selama dua belas hari. Walaupun demikian, karena kondisi fisik dan lukanya sudah membaik, beliau diizinkan untuk dikeluarkan dari rumah sakit. Untungnya di bandara, sewaktu saya tawari beliau makan nasi dengan lauk sop buntut, Subhanallah, beliau makan lahap sekali. Saya bersyukur karena beliau sudah membaik.
Di atas pesawat, kebetulan beliau duduk dekat jendela, beliau diam saja. Saya berpikir, mungkin ibu Siti mabuk perjalanan karena tadi makan banyak dan bahkan minta dibelikan kacang ting-ting.
“Tidak, Nak”, jawab beliau sewaktu saya tanya apakah beliau mabuk. “Saya tidak mabuk. Seumur-umur, baru sekali ini saya naik pesawat!”
Wah, ternyata beliau sangat menghayati pengalaman pertama naik pesawat terbang!
Subhanallah, perjalanan saya mengantar ibu Siti dari Mataram, dari rumah sakit, sampai Madura sangat lancar. Di bandara saya dibantu oleh kru pesawat yang membantu mengangkat ibu ini karena beliau belum bisa berjalan sama sekali. Demikian pula sesampai kami di bandara Juanda saya juga dibantu mengangkat bahkan diantar sampai naik taksi oleh petugas bandara.
Di atas taksi dari bandara Juanda ke terminal Bungurasih, saya sempat berpikir akan kesulitan karena di samping ibu ini belum bisa berjalan sama sekali, barang bawaan beliau juga banyak. Tapi ternyata Pak Munadji, supir dari taksi yang saya tumpangi, menawarkan untuk mengantar langsung ke Madura. Padahal, jarang-jarang sebenarnya ada taksi Surabaya yang mau mengantar langsung ke Madura. Alhamdulillah.
Sesampai di Madura, setelah tersesat hampir sampai Pamekasan padahal tujuan seharusnya adalah Sampang, kami diterima dengan baik sekali oleh keluarga Pak Bahri, keponakan sepupu dari ibu Siti ini. Walaupun hanya keponakan sepupu, Pak Bahri menerima kedatangan dan mengurus ibu Siti dengan baik. Saya tinggal di Madura dua hari dua malam dan mendapatkan pengalaman yang sangat baik. Tempat tinggal Pak Bahri di tepi laut, ya laut yang diurug dengan batu karang menjadi pekarangan lalu di atasnya dibangun rumah yang sangat asri, sederhana tetapi asri damai sekali! Riak air dan semilir angin pantai, keleluasaan mata memandang sangat bisa mendinginkan perasaan. Saya ingat kata-kata bijak Pak Bahri: seandainya semua orang memiliki pikiran seperti laut, airnya dingin, luas dan dalam, maka tidak akan ada kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Saya benar-benar menikmati kedamaian dan kebesaran Ilahi.
Saya juga sempat berdiskusi banyak dengan Pak Bahri mengenai hidup, mengenai sabar, ridho dan ikhlas. Sabar adalah tingkatan pertama, begitu kata beliau. Mendapatkan masalah, seseorang harus sabar. Tetapi sebenarnya, ia masih punya keinginan: keinginan agar jangan ditimpakan masalah. Setelah seseorang bisa sabar, ia baru bisa menanjak ke ridho. Ridho adalah menerima. Mendapatkan kebahagiaan, ia ridho. Demikian pula mendapatkan kesusahan, ia juga ridho. Tetapi seseorang belum sampai. Dalam tingkatan ridho ini, ia masih memiliki keinginan sendiri. Lebih merasa nyaman dalam kesenangan.
Tingkatan terakhir adalah ikhlas. Ikhlas adalah, tidak ada lagi keinginan si aku. Tujuannya hanya Allah. Tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan pujian manusia. Semuanya sudah dipasrahkan kepada Allah. Tidak ada lagi keinginan menunggu terima kasih manusia. Karena itu pula, salah seorang isteri Rasulullah SAW mempunyai kebiasaan memberi kepada anak kecil. Tidak perlu terima kasih. Bahkan kadang-kadang anak kecil mengambil sambil merebut, kemudian lari terbirit-birit. Itulah anak kecil. Sepi dari terima kasih.
Kembali ke ibu Siti.
Sekitar jam setengah satu atau jam satu malam, saya pamit ke Pak Bahri untuk berangkat pulang. Saya sudah bilang untuk jangan membangunkan ibu Siti yang sedang tertidur istirahat. Tetapi karena ibu Siti sudah berpesan untuk dibangunkan kalau saya pulang, akhirnya beliau dibangunkan hanya untuk bersalaman selamat jalan. Ah, saya terharu sekali. Saya berdoa semoga ibu Siti cepat sembuh. Saya sempat mencarikan alkohol untuk luka beliau di apotik di Pamekasan (tempat beliau di Sampang), menggantikan perban beliau dan berpesan untuk meminta tolong ke petugas medis untuk mengganti perban setiap hari. Saya betul-betul ingin memastikan keadaan beliau baik setelah saya pulang. Kondisi beliau yang sudah bagus, saya harapkan untuk tetap dipertahankan.
Sepuluh hari kemudian saya menelpon Pak Bahri menanyakan kabar ibu Siti dan menanyakan kabar keluarga Pak Bahri. Saya menelpon Pak Bahri dan mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan: ibu Siti sudah dipanggil Ilahi tadi Malam! Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Kita sungguh tidak pernah tahu kapan waktunya kematian datang kepada kita. Ketika saya sudah begitu berbesar hati, begitu gembira melihat kondisi ibu Siti yang sudah membaik, saya diingatkan bahwa ternyata ajal itu sama sekali tidak bergantung kondisi tubuh. Bahkan banyak orang yang meninggal dalam kondisi tubuh yang sangat prima. Tetapi itulah kematian. Ia datang dan pergi tanpa pernah dipahami. Kematian mendatangi siapa saja dengan cara yang sangat penuh misteri. Karena itu, kita mesti selalu mempersiapkan diri.
Allahummaghfirlaha warhamha, wa’afiha wa’fu’anha wa akrim nuzulaha, wawassi’ madkhalaha. Ammien!
Sumbawa, Memori Ahad, 27 Februari 2005 Mamiq121.multiply.com