Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang kawan yang sudah hampir dua tahun tidak pernah bersua. Dia seorang bapak dua anak. Penampilannya sekarang lebih rapi, dengan jenggot pendek di dagunya dan jidatnya yang kini menghitam, walau samar.
Dia bercerita jika sekarang telah menjadi manusia bebas. Saya heran, “Lho, bukannya sedari dulu Antum sudah bebas?” Dengan tersenyum dia menggeleng. “Dahulu, saya masih menuhankan yang lain selain Allah SWT. Dahulu saya masih tergantung kepada banyak hal selain Allah SWT. Padahal dalam Islam bergantung hanya kepada Allah SWT itu sudah cukup, tidak lagi memerlukan apa-apa selain Dia…”
Saya kembali bertanya dan paparannya membuka mata hati saya akan hal-hal yang sesungguhnya sangat sederhana. Sahabat saya yang sudah mengkaji Islam secara intensif dengan kawan-kawan pengajiannya sejak awal 1980-an ini bercerita banyak hal.
“Akhi, ” katanya. “Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya keinginan yang kuat untuk mempelajari agama ini. Kita tentu sudah sama-sama paham tentang dasar-dasar keimanan seorang Muslim, bahkan cabang-cabang keimanan dan juga pengetahuan tentang hal-hal lain terkait keIslaman, kita juga sudah mengerti.” Saya mengangguk.
“Dan orang-orang seperti kita tentunya sangat mendukung dakwah Islam.” Saya kembali mengangguk, dia melanjutkan, “Namun tentunya dakwah Islam yang benar, yang berdasar pemahaman Islam yang lurus, bukan label atau bungkus belaka. Kita tentu harus mendukung dakwah Islam yang benar, bahkan hukumnya fardhu ain. Namun ketika dakwah itu sudah tidak benar, sudah melenceng dari nilai-nilai Islam, dari pondasi Islam, maka tentu kita pun wajib meninggalkannya. Kita cinta dan benci karena Allah SWT, bukan karena hal-hal yang lain.”
Saya terus mendengarkan. “Salah satu syarat mutlak dalam dakwah Islam adalah benar sedari awal, yaitu niat yang benar dan lurus, usaha yang benar, upaya yang benar, dan hasilnya pun akan benar pula. Semua bentuk dakwah Islam harus demikian, termasuk dalam tataran dakwah kenegaraan.”
“Yang terakhir ini bisa saya umpamakan dengan toko saya, ” ujarnya. Saya tahu sahabat saya ini punya usaha toko di Jakarta. “Saya membangun toko dengan niat yang lurus dan juga bersumber dari uang yang bersih dan halal. Tidak ada sedikit pun dana membangun toko saya ini yang bersumber dari dana yang tidak jelas. Sedikit demi sedikit saya terus mengembangkan toko dan juga strategi marketing saya. Tentunya dengan tetap menjaganya dari nilai-nilai keIslaman.”
“Alhamdulillah, toko saya berkembang. Makin banyak pelanggan. Ketika toko saya sudah banyak pelanggan dan ramai, makin banyak salesman yang menawarkan barang-barangnya. Makin banyak pula orang yang ingin bermitra ikut menginvestasikan uangnya ke dalam usaha saya. Dalam bahasa lain ber-musyarokah. Sebagai manusia biasa saya tentu ingin sekali toko saya besar. Namun karena niat saya membuka toko demi dakwah Islam, maka saya tentunya harus selektif memilih barang dagangan dan mitra berbisnis saya. Saya tidak mau ada produk-produk haram seperti rokok dan bir di dalam toko saya. Saya juga tidak mau bermitra dengan orang-orang yang tidak jelas yang tentunya punya dana yang juga tidak jelas. Walau saya pribadi ingin usaha saya ini besar, berkembang pesat, dan omzetnya mencapai miliaran bahkan triliunan, namun dalam kacamata Islam itu semua bukan perimeter sebuah keberhasilan. Karena dalam Islam, yang penting adalah ikhtiar kita menjaga Islam itu sendiri, sedangkan hasil merupakan pemberian Allah SWT.”
Saya merasa butuh penjelasan lebih lanjut darinya, “Mengapa dakwah dalam tataran negara diibaratkan dengan mengelola toko?”
Sahabat saya tersenyum, “Ya sama saja. Dakwah dalam tataran yang lebih luas sama saja dengan mengelola dakwah dalam tataran yang mini ibaratnya toko. Kecil atau besar, tetap saja kita wajib memegang nilai-nilai dasar Islam. Kita tidak boleh sedikit pun bertoleransi terhadap kebathilan, walau itu dengan dalih demi perluasan dakwah. Dakwah yang benar tidak akan berhasil jika dibiayai oleh sumber dana yang tidak jelas, syubhat, apalagi dana haram. Dakwah yang benar tidak akan pernah bisa berhasil jika kita bermitra dengan para penyembah thaghut, terlebih posisi kita dalam bermitra itu lemah sedangkan posisi para penyembah thaghut itu kuat. Dakwah kita tidak akan berhasil jika melalui cara-cara yang tidak Islami seperti menggelar dangdutan, organ tunggal, dan sebagainya.”
Sahabat saya melanjutkan, “Dakwah Islam yang bersih dan suci tidak bisa sedikitpun dicampur dengan hal-hal yang kotor seperti itu. Adalah terlalu murah harganya jika dakwah Islam harus berkompromi dengan hal-hal seperti itu. Rasulullah tidak pernah mengajarkan demikian. Dalam Perang Badar, tatkala menghadapi musuh yang sangat besar, Rasulullah tidak pernah menawarkan gencatan senjata, apalagi bertoleransi sedikit pun dalam beragama. Padahal saat itu bisa saja Rasulullah menawarkan sesuatu agar tidak terjadi peperangan yang sangat tidak imbang tersebut yang dalam nalar manusia biasa pasti umat Islam akan kalah. Tapi itu tidak. Rasulullah malah pergi ke dalam tenda dan berdoa kepada Allah agar memenangkan kaum Muslimin. Dan akhirnya pertolongan Allah itu datang dan berhasil memenangkan kaum Muslimin dengan menurunkan ribuan pasukan malaikat-Nya.”
Saya tersenyum lagi. “Jika demikian, di dalam tataran politik yang sangat kompleks dan kotor seperti sekarang ini, mungkinkah cara-cara seperti yang Antum paparkan tadi bisa menuai keberhasilan?”
Kini sahabat saya yang tersenyum, “Dalam Islam, manusia itu hanya diperintahkan untuk berikhtiar, untuk berusaha dengan baik dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ini tidak bisa ditolerir. Sedangkan hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT. Islam tidak menghendaki kita menjadi penguasa jika harus melalui cara-cara di luar Islam atau apalagi harus berkompromi dengan para penyembah thaghut.”
Saya bertanya lagi, “Jika demikian, untuk pemilu mendatang, Antum memilih siapa?” Sahabat saya kembali tersenyum. “Jika ada yang benar-benar berjuang untuk Islam, jiika ada yang benar-benar ingin menghidupi Islam, bukan memanfaatkan Islam untuk bertahan hidup, maka saya akan pilih itu. Partai saya sekarang Partai Allah, Hizbullah…Jika ada saya pilih, namun jika tidak ada, saya sudah memiliki Islam. Bagi saya Islam sudah sangat cukup.”