Beberapa waktu terahir ini, di desa saya khususnya, banyak sekali orang trauma karena kedatangan tamu yang sebelumnya belum mereka kenal. Baik orang yang datang sekedar menawarkan jenis barang, ataupun saudara-saudara kita yang membawa stofmap berisi proposal minta bantuan. Baik untuk pembangunan masjid, pesantren, anak yatim atau bentuk kegiatan sosial lainnya..
Trauma itu bukannya tidak berdasar. Tapi, banyak kejadian yang merugikan, berawal dari orang-orang sejenis itu. Baik pencurian, atau penipuan dengan janji-janji tertentu. Khusus dalam lingkungan keluarga orang tua saya, biasanya jika ada orang semacam itu yang datang, maka sayalah yang disuruh untuk menemuinya.
Awalnya saya juga selalu beranggapan seperti keluarga-keluarga yang lain. Namun, perspektif saya terhadap orang yang datang ke rumah kami, coba saya ubah. Artinya saya mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Saya belajar meyakini sabda Nabi, bahwa siapa orangnya yang beriman dan percaya dengan hari akhir, maka hormatilah tamu.
Berawal dari situlah, maka menerima tamu, siapapun orangnya, dari latar belakang apapun, selalu saya anggap bagian dari ibadah. Sehingga saya selalu “enjoy” saja, menikmati tamu siapapun.
Seperti pagi Jum’at yang cerah beberapa waktu lalu, saya kedatangan seorang tamu yang membawa stofmap. Orang-orang di sekitar saya sudah paham sekali, sehingga sering memvonis, bahwa pasti ia akan minta sumbangan. Sehingga mereka sering mengabaikan kedatangan dia.
Saya tetap menemui dia, walaupun saya tidak punya uang. Saya tetap mendengar tujuan kedatangan dia, walaupun saya sendiri sedang sibuk di belakang rumah. Lama-kelamaan pembicaraan kami makin nyambung.
Saya terpesona pada “mukadimah” awal laki-laki muda ini. Ia mengemban amanat dari anak-anak yatim di ibukota kabupaten saya. Laki-laki muda dengan wajah bersemangat ini adalah mantan aktifis Islam kampus di sebuah universitas di kota saya. Saya belum pernah kedatangan tamu sosok semacam itu.
Kedatangan dia sungguh suatu berkah besar bagi saya. Paling tidak saya jadi bisa ”ngangsu kawruh” atau menimba ilmu dari dia. Beberapa bulan setelah saya kembali ke tanah air, setelah sekian lama merantau di negri orang, saya memang punya keinginan kuat untuk menimba ilmu yang kaitannya dengan pengelolaan anak yatim. Saya sempat bingung, harus kemana saya menanyakan ini semua. Ternyata dari laki-laki muda ini saya banyak menemukan jawaban dari apa yang selama ini bergelayut dalam hati saya.
Alhamdulillah, dari dia saya banyak menimba ilmu. Dari dia saya seperti mendapat semangat lagi untuk mencoba terjun di bidang yang mulia ini. Kalimat-kalimat, baik dari perkataan para ulama, Nabi ataupun Al-Quran sering muncul darinya. Sehingga menambah kekuatan ruhani saya.
Kembali kepada persoalan awal, yaitu tentang menghormati tamu. Seandainya pada saat itu saya masih punya pemikiran seperti beberapa orang di sekitag rumah saya, dan mengabaikan kedatangan dia serta tidak memperlakukan dia sebagaimana lazimnya seorang tamu, lantas sibuk saja dengan pekerjaan saya, tentu Allah tak akan memberikan ilmu berharga pada saya.
Lagi-lagi saya harus mengakui kenyataan, bahwa ilmu Allah selalu berserakan di mana-mana di muka bumi ini. Dan tidak harus di temukan dalam ruangan kuliah ber-AC serta berhadapan dengan seorang guru besar yang di depan dan belakang namanya sarat dengan titel akademis. Termasuk ketika saya menerima tamu laki-laki muda yang bersemangat itu. Tamu datang, ilmupun berkembang.
****
Purwokerto, Sept 06 <[email protected]>