Apa yang akan kita lakukan kalau akan datang seorang tamu ? Beres-beres rumah ? Beli sesuatu yang baru ? Setidaknya itu lah yang di lakukan suamiku yang sebenarnya jarang menerima tamu. Apalagi kalau tamunya orang yang berkecukupan. Dia akan bingung. Mencoba menata rumah sebagus mungkin. Kalau perlu beli kesed baru.
Tapi kali ini ia berbeda. Ia sembunyikan mainan-mainan anakku, ia tutup kamar anakku, bahkan berniat menyembunyikan sepeda biru anakku yang di parkir di dalam pintu masuk.
Tamu dari Afganistan, ya suamiku akan membantunya untuk mengisi formulir dalam bahasa Jepang untuk pindahan rumah. Karena teman kami ini ingin mencari rumah yang lebih murah untuk ditinggali istri dan keempat anaknya. Disini ia sedang belajar di suatu Universitas dengan beasiswa. Pernah suamiku diundang buka puasa di rumahnya. Sambutan hangat dan hidangan yang tersaji oleh keluarga yang sebetulnya kekurangan itu, membuat suamiku terharu.
Mereka hidup dengan sangat pas pasan bahkan bisa di bilang, kekurangan. Mungkin suamiku teringat dengan kesan Afganistan, sehingga ia jadi lebih kasihan.
Saat dia tau anak anak teman kami ini tidak punya mainan yang bagus, iapun sibuk menyembunyikan mainan anakku.
Ternyata ia sesensitif itu. Tadinya saat ia memilih untuk menjelaskan tentang formulir di telpon, aku sempat berprasangka buruk.
Jangan-jangan…suamiku nggak mau diganggu di hari liburnya yang cuman satu hari dalam seminggu ini. Ah, memang orang Jepang, susah sekali untuk menerima tamu.
Ketika ia tahu bahwa tidak mungkin menjelaskan formulir yang rumit itu lewat telepon , suamikupun memutuskan untuk menjelaskannya di rumah kami.
Jadilah ia repot sendiri.
“ Coba, coba itu sepedanya dimasukkan. Kasihan kalau dia lihat. Anak anaknya tidak punya mainan-mainan dan sepeda,” katanya.
Aku ingat pernah menceritakan masa kecilku saat ekonomi keluargaku dalam posisi down.
Saat orang tuaku tak sanggup membelikan mainan dan boneka-boneka. Jangankan boneka, untuk kehidupan sehari hari saja susah. Tapi setiapku berkunjung kerumah saudara-saudaraku, mereka memajang boneka-boneka mahalnya dan koleksi mainan-mainannya dengan sangat menarik. Jangankan ikut memainkannya, menyentuhnya saja tidak diperbolehkan. Kala itu aku dan adik perempuanku hanya bisa bermimpi dan berandai andai tentang boneka-boneka itu. Dan kini, suamiku tak ingin tamunya merasakan hal serupa.
Tak lama kemudian, tamunyapun datang. Ia menyambutnya dengan ramah. Kuperhatikan, di depan tamu yang sederhana, ia tidak banyak bicara. Ia lebih suka mendengar dengan penuh perhatian. Dan seperti biasa, ia memberi pelayanan ekstra. Yaitu mengantarkannya sampai tempat pemberhentian bis. Bahkan sampai bisnya jalan. Walaupun hawa begitu dingin.
Ya Allah, mudah-mudahan Kau beri hidayah yang besar untuk suamiku, balasan atas kelembutan hatinya.
For my gentle Husband, 8 Februari 2009