Tamri, Namanya

Berharap mendapatkan kesenangan seolah berpiknik, sama sekali tak terbersit dalam benakku. Kalau saja isteriku tidak merajuk untuk ikut serta dibumbui tatapan memelasnya-yang selama ini selalu sukses membuatku takluk untuk meluluskan segala keinginannya- tentunya aku tidak akan mengajak ia untuk mengambil data guna keperluan risetku. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan, karena usia kandungan isteriku kini memasuki 5 bulan.

Seperti dugaanku, pagi itu begitu terik. Dan untuk topografi daerah kritis nan tandus rasanya tidak begitu mengherankan tidak ada satu pun pepohonan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh di lokasi objek risetku.

Satu hal yang membuatku tetap bersemangat: keceriaan isteriku. Tidak dihiraukannya sengatan matahari yang begitu terik. Berpayung, dan ngemil sebanyak-banyaknya bekal yang kami bawa, isteriku terlihat begitu lucu. Ia dengan mudahnya mengesampingkan kondisi yang tidak nyaman itu, seolah sedang plesir di pantai Kuta.

Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama.Semakin siang, suhu udara semakin ttinggi, hal yang tidak teramat sulit untuk lekas menghapus keceriaan dari wajah isteriku.

Di tengah kebingunganku, seorang lelaki yang sejak tadi sepertinya memperhatikan kami dari tempatnya yang tidak jauh dari objek risetku,
begitu ramah menawarkan tempat berteduh sembari mempersilahkan kami untuk istirahat di kursi malasnya yang terbuat dari bambu.

Tamri nama lelaki itu, namun ia lebih akrab disapa Ambon karena rambut kriwilnya ditambah kulitnya yang legam, fisiologi khas saudara-saudara kita dari Indonesia Timur. Di tempat itu ia tinggal di sebuah bekas box kontainer yang ia manfaatkan untuk kamar. Ia bekerja sebagai buruh angkut sekaligus penjaga gudang sebuah perusahaan pasir besi.

Sejenak mengobrol dengan mas Tamri, kesan yang muncul adalah bahwa pria ini baik hati, sopan dan ramah. Satu-satunya alasan yang membuat isteriku takut awal mulanya dengan mas Tamri karena sekujur kedua lengannya yang berhias tato.

Kami begitu akrab, kendala bahasa Mas Tamri yang terbata-bata berbahasa Indonesia, tidak menghalangi suasana cair diskusi kami. Dari diskusi pula aku mengetahui keluarga dia, impiannya sekaligus sejarahnya hingga ia terdampar di Surabaya.

Ia seorang yatim-piatu, satu-satunya saudaranya hanyalah kakaknya yang sekarang tinggal di kota Darwin- Australia. Kakaknya menikah dengan wanita setempat yang menjadikannya berganti kewarganegaraan dan akhirnya berprofesi sebagai anggota angkatan darat negeri kanguru tersebut.

Mas Tamri sudah berkali-kali ditawari untuk tinggal di Australia oleh kakaknya, namun ia dengan halus menolaknya. Hal yang membuatku terkesan, alasan penolakan itu: ia ingin berjuang hidup untuk dirinya, tanpa bergantung orang lain.

Satu lagi kekagumanku: di tengah kesibukannya menunaikan amanah kerja yang cukup berat, ia tidak lalai untuk menunaikan sholat, ia seorang muslim. Kontras sekali dengan stigma orang bertato dan buruh kasar bukan?

Ya, dan senyum manis mas Tamri membayang, ditingkah lirih tutur isteriku " banyak orang baik, Mas"

Tambak Garam di Pesisir Gresik, Juni’08