Dinginnya malam ternyata tak mampu mendinginkan pikiranku, heningnya malam tak mampu menenangkan jiwaku. Aku sudah berbaring sejak sehabis shalat isya tadi. Sendiri dikamarku. Suara kentongan bambu pos ronda berbunyi, ku hitung jumlah ternyata berjumlah 24 kali. Berarti sudah tengah malam namun aku tetap tak bisa memejamkan mata sedikitpun.
Pikiranku memang sedang penat dipenuhi masalah yang sebenarnya bukan urusanku. Namun karena aku anak lelaki tertua yang menjadi tulang punggung keluarga tentunya masalah tersebut menjadi masalah ku juga.
Aku berdesah… haaah.. mengapa ini terjadi, aku tak menyangka masalah besar akan terjadi pada perjalanan hidup. Aku mengingat semua saran teman-teman bermainku saat bertemu di pinggir kali Caringin saat memancing sore tadi. Namun nasihat itu seperti panasnya padang pasir yang tak memberikan kesejukan hati. Sudah ku adukan ke semua orang-orang terdekatku namun tak satupun yang memuaskan dahaga penyelesaian.
Aku mencoba mencari hiburan lain dengan bangun dari tempat tidur. Berjalan menuju ruangan tamu, ku nyalakan radio, ku dengar alunan nyanyian priangan, kuputar-putar tombol pencari gelombang radio sampai beberapa kali putaran tapi tak satupun yang dapat menghiburku.
Bosan dengan tingkahku yang tak karuan, ku melangkah ke belakang rumah. Kubuka pintu belakang dengan perlahan-lahan. Saat pintu mulai terbuka terasa angin malam menusuk tulang, terdengan suara burung pelatuk sedang menabuh dahan pohon, okestra kerikan jangkrik berdayu-dayu seperti gelombang lautan yang tak henti bergerak, terdengan suara merdu biola pohon bambu yang digesek tiupan angin malam.
Api lampu minyak tanah yang terbuat dari kaleng susu indomilk bergoyang mengikuti alunan hembusan angin malam. Wangi harum bunga pepaya terasa menyengat hidung seperti parfum termahal yang pernah kumiliki. Daun pohon bambu bergerak-gerak seperti penari tarian kipas sedang menggoyangkan-goyangkan kipasnya.
Malam ini langit sangat cerah seperti seorang anak kecil diberi mainan baru. Kuhirup udara dingin sedalam-dalamnya, kusalurkan ke dada lalu keperut, kutahan sebentar lalu kukeluarkan perlahan. Ku ulangi sampai beberapa kali.
Perasaan aneh datang, ketenangan dan kesegaran mulai menjalar melalui syaraf-syaraf tubuh. Kutertegun, tak percaya dengan apa yang kulihat. Ada pandangan aneh yang tak bisa ku percaya, semua yang ada di sekitarku tersenyum tulus, penuh dengan keikhlasan, melambai-lambaikan tangannya mengajaku bergembira, bermain-main seperti seorang teman karib yang hendak menghibur temannya yang sedang bersedih.
Sepertinya alam sedang menghiburku dengan keahlian sempurna yang mereka miliki di bawah pimpinan seorang konduktor yang profesional. Semuanya memainkan alunan musik klasik alam. Daun-daun bambu kering berjatuhan seperti hamparan bunga sambutan yang hendak menyambut datannya seorang pahlawan. Kesegaran angin malam sesegar udara dipuncak gunung Gede Pangrango.
Entah mengapa tiba bibirku ikut tersenyum dan mataku berbinar melihat tingak-laku mereka, Namun tiba-tiba gambaran okestra alam lenyap dari pandangan mata ketika seekor tikus melompat dari batang-batang pohon bambu yang sedang bergoyang ke tumpukan daun-daun kering, kresek…. cit..cit..cit lalu tikus itu berlari menuju kerumunan daun-daun kering.
Aku tertegun, kepenatanku hilang seperti debu diterjang angin badai, pikiranku mulai tenang, hati pun tentram. Aku tak menyangka di belakang rumahku terdapat taman hiburan mini yang selama ini telah kulupakan, ternyata pepohonan, udara dan alam, semua adalah teman-teman karib ku yang dapat menghiburku disetiap saat tanpa aku memintanya.
Alam ini begitu bersahabat dan dapat menjadi sahabat disaat tak ada seorang sahabat pun di sampingku. Ya… Allah ku bersyukur, Engkau telah memberikan penghibur terbaik disetiap jengkal tanah yang kulalui.