Saya lebih suka menyebutnya sebagai keajaiban sebuah takdir Allah SWT. Saya dan dia dipertemukan, dipisahkan dan dipertemukan kembali oleh takdir. Pertemuan pertama ketika kita sama-sama beraktivitas di organisasi kemahasiswaan di suatu PTN di Yogyakarta, di tempat saya dan dia kuliah. Waktu itu, saya menjabat sebagai staf pengurus dan dia menjabat sebagai staf pengawas. Kedekatan kita tidak terlalu intens. Hanya say hello saja. Maklum, cakupan kegiatan kita berbeda.
Kedekatan kita berlanjut ketika kita berdua sama-sama dipercaya menjadi pengurus di organisasi kemahasiswaan yang sama. Saya menjabat sebagai Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia sedangkan dia waktu itu menjabat sebagai Ketua Bidang Keuangan. Kali ini cakupan kegiatan kitapun juga berbeda. Saya mengurusi kegiatan keanggotaan, mulai dari anggota masuk sampai anggota keluar. Sedangkan dia mengurusi hal-hal yang berbau dengan keuangan. Kebersamaan kita hanya berlangsung dalam forum-forum rapat pengurus atau forum-forum keanggotaan yang mewajibkan kehadiran para pengurus. Hanya sebatas itu. Saya tetap saja tidak terlalu mengenal tentang dia, tentang ibu bapaknya dan tentang keluarganya. Saya juga tidak terlalu mengetahui dengan pasti dia anak keberapa, kakaknya berapa orang, apakah dia punya adik atau tidak.
Dalam lekatan ingatan saya, dia adalah muslimah yang cerdas, berpendirian, percaya diri dan mengerjakan sesuatu dengan penuh pertimbangan. Dalam memori fikiran saya, dia adalah muslimah yang harus mengetahui dengan pasti efek positif dan efek negatif dari suatu kegiatan perbuatan atau kegiatan. Dalam bahasa ekonomi, bahwa sesuatu yang dikerjakan harus menghasilkan keuntungan, entah yang keuntungan yang bersifat finansial atau keuntungan yang bersifat nonfinansial. Itulah prinsipnya dalam melakukan sesuatu. Maklumlah, mungkin background pendidikannya yang membuatnya mempunyai sifat seperti itu. Dia adalah anak ekonomi. Sudahlah, hanya itu tentang dia yang memenuhi ruang fikiran saya.
Kurang lebih enam bulan saya dan dia tidak saling kontak, entah lewat telepon, sms atau email. Terakhir kabar tentang dia yang saya dengar adalah dia sudah bekerja di Bandung, pada sebuah BUMN yang cukup bergengsi di negeri ini. Sampai suatu hari, ketika hari-hari saya masih disibukkan dengan skripsi dan rencana pendadaran, mata saya tertumbuk pada bacaan “Friendster: New Friend Request from Nanae” di inbox email saya. Browsing di internet pada masa-masa itu adalah hiburan tersendiri bagi saya di tengah kepenatan mempersiapkan pendadaran dan rencana wisuda. Saya buka account friendster saya dan ternyata dia yang meng-invite saya. Saya pun approve saja dengan invite-nya.
Bertukar sapa lewat dunia maya, itulah yang kita lakukan saat itu. Tapi, tidak terlalu intens. Cukup hanya dengan bertukar sapa, bertukar cerita tentang kita saat itu. Istilahnya, cukup dengan say hello. Hari-hari saya masih disibukkan dengan rencana-rencana kegiatan pasca wisuda. Di tengah kepenatan akan segala urusan yang sepertinya tidak pernah usai, suatu hari ketika saya sedang browsing di internet, saya membuka profilenya di friendster. Saya surprise melihat foto dengan tulisan di bawahnya “Nanae yang baru, Pray me Istiqomah”. Keterkejutan melanda hati saya. Saya amati kembali foto itu dengan lebih seksama. Tidak salah, wajah hitam manis dibalut jilbab rapi warna orange sampai dada dipadu dengan baju warna senada yang longgar benar adalah teman saya. Di tengah ketidakpercayaan itu, saya mencoba melihat semua foto-foto yang ada di profilenya. Keterkejutan saya bermuara pada satu kata, Subhanallah. Hanya kata itu yang mampu terucap. Saya semakin percaya bahwa hidayah semata adalah hak milik Allah SWT dan Dia pula yang berhak menentukan siapa yang akan dikaruniainya hidayah itu dan siapa pula yang akan dicabutnya hidayah itu. Tidak ada campur tangan manusia sama sekali.
Saya tahu dengan pasti bagaimana gaya berpakaian dan berjilbabnya sewaktu kita masih sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan yang sama sewaktu kuliah. Sama seperti kebanyakan teman-teman yang lain, cukup dengan selembar kain kerudung yang kemudian dililitkan di leher dipadu dengan baju atau kaos yang kadang masih menampakkan lekukan tubuh. Tapi kini, penampilannya yang saya lihat dalam foto-fotonya pada profile-nya di friendster sungguh berbeda. Dia yang sekarang bukan lagi dia yang dulu. Entahlah, peristiwa hidup apa yang telah dialaminya. Takdir kembali yang berbicara. Takdir pula yang menempatkan saya bekerja pada sebuah lembaga penelitian di Bandung sehingga Allah mempertemukan kita kembali di Bandung. Skenario Allah SWT memang indah.
Di suatu Sabtu siang, di depan gerbang masuk kampus ITB Bandung saya kembali bertemu dengannya. Kita memang sudah berjanji untuk bertemu di depan gerbang masuk kampus ITB pada Sabtu siang itu. Waktu itu, dia mengenakan jilbab biru dipadu dengan baju putih dan rok hitam. Ternyata benar adanya. Penampilannya seperti foto-foto yang dipajang di profilnya di friendster adalah pilihan hidupnya yang sekarang. Dia telah mengubah penampilannya, menuju seorang muslimah sejati. Menilik tempat kerjanya sekarang, saya yakin bukan itu yang mengubahnya. Melihat suasana kota Bandung saat ini, saya juga bisa memastikan bukan hal itu pula yang mengubahnya. Sungguh saya penasaran dengan cerita hidupnya sehingga setelah mapan secara ekonomi dia mengubah penampilannya sesuai dengan syariat Islam. Sempat terbersit di benak saya untuk bertanya, mengapa dia sekarang mengubah penampilannya? Tapi akhirnya saya urung bertanya. Saya teringat pada suatu pepatah bijak, “untuk sesuatu hal yang baik, janganlah bertanya mengapa?” Yah, teman saya yang sekarang sedang berproses menjadi seorang muslimah yang baik dan rasanya tak pantas saya bertanya mengapa padanya.
Dua hari menghabiskan waktu bersamanya mengelilingi kota Bandung, membuat saya tercengang dengan perubahan yang sangat drastis pada diri teman saya itu. Kota Bandung telah mengubah seorang teman saya menjadi yang lebih ‘aneh’ dalam istilahnya. Hal ini diungkapkannya ketika kita berdua menyusuri salah satu pusat perbelanjaan di Kota Bandung.
“Nga, kita berdua adalah makhluk aneh di Bandung,” ujarnya saat itu. Saya hanya diam.
“Lihatlah Nga, begitu modisnya cewek-cewek Bandung. Bandingkan dengan kita!”, lanjutnya dengan senyuman yang mengembang. Saya hanya mampu memberikan senyuman yang terbaik yang saya punya untuknya.
Dia sekarang tertatih-tatih melafalkan Al-Quran. Dia sekarang berjuang keras belajar tsaqofah Islamiyah. Dia sekarang berusaha berpenampilan sesuai dengan syariat Islam. Dan saya yakin, semua yang dilakukannya sekarang bukan karena didasari keterpaksaan. Sungguh, saya melihat ada keikhlasan di wajahnya.
“Ya Allah, tolong tetap Engkau sematkan hidayah-Mu di dalam hati saya dan teman saya. Jangan Engkau cabut lagi hidayah-Mu setelah Engkau menyematkannnya di hati kami. Dan tolong kuatkan cinta dan persahabatan kami hanya semata-mata karena-Mu.” Hanya doa itu yang bisa terlantun di bibir saya setelah usai sholat magrib berjamaah dengannya, sebelum saya pulang ke kos saya.
Bandung, awal Juni 2006 (Buat seorang teman di Bandung: jazakillah untuk semuanya)