Fulan menepuk pundakku, meminta aku menghentikan sejenak aktifitasku. Arah telunjuknya menuntun pandanganku pada sosok Ahmad yang berjalan santai menuju meja kerjanya. Aku hanya tersenyum saat Fulan berbisik pelan, “Ahmad sedang dilanda puber kedua.”
Itu kejadian dua bulan yang lalu. Sebulan kemudian, Fulan kembali membuatku tersenyum dengan kasak-kusuknya. Ia katakan, Ahmad memang benar-benar sedang kasmaran. Itu terbukti dari bau parfum dan minyak rambutnya yang Ahmad gunakan, lain dari biasanya.
Dan minggu ini, lagi-lagi aku tersenyum saat Fulan kembali ‘melaporkan’ perkembangan penyelidikannya terhadap Ahmad. Tidak tanggung-tanggung, kali ini langsung tiga hal yang ia sampaikan. Pertama, tidak masuknya Ahmad kemarin adalah pertanda bahwa ia serius hendak resign dari perusahaan. Setidaknya Ahmad sengaja ijin untuk menghabiskan sisa cuti miliknya, itu laporan kedua. Dan yang ketiga, sungguh membuatku tak kuasa menahan tawa. Fulan katakan bahwa Ahmad sengaja cuti, pulang kampung untuk melamar gadis pujaannya.
Aku tahu siapa si Fulan, termasuk hobi dan juga minatnya. Barangkali ia terobsesi menjadi seorang detektif swasta, sehingga hal-hal kecil yang luput dari perhatian banyak orang justru menarik perhatiannya. Dan kali ini Ahmad yang jadi ‘korban’ obesesi anehnya. Dan karena aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ahmad, maka aku hanya tersenyum menanggapi analisa Fulan yang asal-asalan.
Benar bahwa penampilan Ahmad belakangan ini memang sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dulu selalu mengenakan celana berbahan kain, kini beberapa kali terlihat mengenakan celana berbahan jeans. Juga kebiasaan Ahmad berkemeja, kini mulai sering mengenakan kaos saja. Sebenarnya bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, apalagi dikaitkan dengan usianya. Ahmad bukan sedang berada pada fase di mana orang biasa menyebut puber kedua, aku bisa menjaminnya.
Saat Ahmad membeli celana jeans dan beberapa kaos, aku ada bersamanya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan puber kedua atau berapalah bilangannya. Yang benar adalah, saat itu Ahmad sedang mendapatkan cukup rejeki dan ia ingin mensyukurinya dengan sedikit menyenangkan diri, membeli beberapa potong pakaian setelah sekian lama keinginan itu ia pendam. Sayangnya, ada orang yang berkesimpulan macam-macam, menyangka Ahmad sedang jatuh cinta, puber kedua atau apalah namanya.
Tentang parfum dan minyak rambut yang dipakai Ahmad, aku juga ada bersamanya saat ia berputar-putar di dalam supermarket, mencari parfum dan minyak rambut yang biasa ia gunakan. Ahmad baru berhenti ketika seorang pelayan menghampiri, memohon maaf karena mereka tak memiliki stok barang yang Ahmad cari. Bukan hal yang aneh, bahkan selengkap apapun sebuah toko atau supermarket, ada kalanya mereka kehabisan stok juga. Enggan berpindah ke tempat lain, akhirnya Ahmad memilih parfum dan minyak rambut dengan merk dan aroma baru. Tak ada salahnya mencoba, itu alasan yang sebenarnya, bukan karena Ahmad sedang jatuh cinta seperti yang Fulan sangka.
Dan yang ketiga, ini yang paling menggelikan. Bagiamana bisa, tanpa pernah bertanya, tiba-tiba Fulan berkesimpulan bahwa Ahmad sengaja mengambil cuti untuk setidaknya tiga alasan. Pertama, ia sedang menjalani tes atau melakukan negosiasi gaji dengan perusahaan baru yang memintanya untuk bergabung, bekerjasama. Kedua, sengaja menghabiskan sisa cuti yang masih ada dan yang ketiga melamar gadis pujaannya. Aku tahu persis, dari tiga hal itu tak ada satupun yang benar. Awal minggu ini sengaja Ahmad mengambil cuti sehari karena ada salah satu kerabat yang hendak mengadakan acara akikah dua orang anaknya di kampung halaman mereka. Jadi, kepulangan Ahmad bukanlah untuk acara lamaran tapi untuk menghadiri acara akikah tersebut sekaligus bersilaturahim dengan keluarga besarnya.
Dari kejadian ini, dapat kusimpulkan dan kujadikan pelajaran bahwa apa yang terlihat mata tidaklah selalu sama dengan yang terjadi sesungguhnya. Janganlah terburu-buru mengambil kesimpulan tanpa data yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan mudah menghakimi seolah tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Jangan pula merasa pasti padahal yang diketahui barulah sedikit sekali. Bukan tidak mungkin apa yang terlihat oleh mata berbeda jauh dengan kejadian yang sebenarnya. Yang terjadi pada Ahmad adalah contohnya. Jangan menyamakan kebiasaan diri sendiri dengan orang lain, karena bisa jadi dan sangat mungkin, tidak sama alias berbeda. (Abi Sabila)