Perjuangan individu dan kelompok untuk menjadi sosok-sosok yang takwa, figur-figur yang mengikuti rel sang Kuasa, akan menjadi solusi jitu menjadikan negri kita ini, negri yang thoyyibatun wa robbun ghofuur, negri yang baik, yang senantiasa disejahterakan dan diampuni oleh Allah SWT.
Kisah memilukan orang-orang kita di luar negri, memang tak kan pernah berahir, selama arus pengiriman TKI keluar negeri terus berlangsung. Drama air mata para TKW, akan terus ada jika pembelaan kepada mereka belum juga maksimal.
Siti Hajar, Nurul dan sampai tak bisa lagi dihitung dengan jari. Bahkan model cantik Manohara Odelia Pinot, yang jadi permaisuri pangeran Kelantan pun ikut menjadi korban kekerasan orang-orang luar negeri. Siapa yang salah?
Kalau boleh menengok ke belakang sedikit, saat krisis ekonomi 1997 menerpa negri ini, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang menjadikan sebagian masyarakat kita kehilangan, atau minimal berkurangnya pemasukan rumaha tangga.
Awalnya adalah ke-tak berdaya-an kami, orang-orang kecil dalam menghadapi kondisi ekonomi negri ini yang makin terpuruk pasca lengsernya Soeharto. Gerakan reformasi yang gegap gempita, nyaris tak bisa ditunggu hasilnya oleh kami, orang-orang kecil. Dan dampaknya terhadap roda perekonomian rakyat, sangatlah menyusahkan.
Reformasi, yang ahirnya oleh sebagian orang di plesetkan menjadi ‘repotnasi’, memang betul-betul menjadi kenyataan bagi wong cilik. Artinya, betapa susahnya kami yang hanya pemodal kecil membangun usaha. Jangankan keuntungan yang signifikan, kembali modal setelah menggelar usaha saja, merupakan prestasi yang luar biasa. Pendek kata, untuk mencari sesuap nasi saja, kami sangat susah.
Pernyataan seperti itu, bukanlah berarti bahwa kami tak mendukung reformasi, bukan pula karena pendukung fanatik Orde Baru, namun kenyataan di lapangan sangat jauh dari apa yang kita semua harapkan. Dan itu berlangsung tak hanya setahun dua tahun, tapi ternyata puluhan tahun.
Terus terang, banyak usaha menengah dan kecil yang hancur. Banyak juga diantara kami yang hutangnya makin menumpuk, sementara kebutuhan harian tak bisa di hindari lagi. Mencari pekerjaan susah, sebab kala itu perusahaan-perusahaan berskala besarpun mem-PHK para karyawannya. Bank-bank juga banyak yang dilikuidasi.
Lantas jalan keluar seperti apakah yang harus ditempuh untuk mempertahankan agar dapur tetap mengepul? Solusi macam apakah yang bisa dikerjakan setelah berbagai usaha selalu gagal?
Banyak diantara anak negri ini yang mencoba mencari peruntungan nasib ke luar negri, mengikuti jejak warga Indonesia lain yang sudah berangkat terlebih dahulu. Mereka sukses mengangkat dirinya, keluarga, dan tentu juga memberi masukan besar bagi devisa negara. Maka, tak sedikit diantara kita yang bergerilya mencari peluang kerja ke luar negeri.
Brunei, juga menjadi pilihan banyak calon TKI, disamping banyak juga yang mencoba mempelajari peluang di Malaysia dan Arab Saudi lewat teman-teman dan kantor tenaga kerja. Disamping itu, biaya keberangkatan kesana juga tidak terlalu besar di banding dengan ke Taiwan atau Korea. Ada yang memilih Brunei Darussalam ataupun Malaysia dengan alasan karena masih serumpun dengan negri tercinta ini, bahasa yang dipakai dan agama yang mereka anut juga sama. Dengan demikian keakraban dengan majikan, persaudaraan antar individu yang lain bangsa bisa terjalin lebih erat.
Hampir semua orang yang belum pernah bekerja di luar negeri membayangkan, bahwa bekerja di luar negri itu sangat indah. Terbukti, banyak juga kawan-kawan kita yang sukses. Namun, ada juga yang tak seindah dan sebaik teman-teman yang lain. Betul juga kata pepatah; Rambut sama hitam, tapi nasib kita berbeda.
Kisah tentang kesuksesan seorang buruh migran, sering kita baca di media dan kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Bisa mengangkat ekonomi pribadi, keluarga, menyekolahkan adik-adiknya, membeli rumah, sawah, punya modal, adalah prestasi mereka. Sebaliknya, cerita tentang kegagalan seorang buruh migran, juga bukanlah kisah bohong apalagi dongeng pengantar tidur. Terlunta-lunta di negri orang, diperlakukan tak manusiawi oleh majikan, dibodohkan, dicaci maki, adalah pengalaman yang bukan isapan jempol belaka.
Masih banyak teman-teman kita para TKW yang bernasib kurang baik seperti Siti Hajar. Siti masih beruntung, karena upaya hukumnya di dukung banyak pihak, termasuk pemimpin negri ini. Lantas bagaimana dengan Sit-Siti yang lain, yang pulang ke tanah air dengan uraian air mata, karena teraniaya dan gaji tak dibayar, dan itu tak terekspos media?
Semakin hari, ternyata fenomena keberangkatan saudara kita bekerja ke luar negri, makin banyak saja. Bukan berarti karena di negri seberang selalu hujan emas, sementara di negri sendiri hujan batu, namun karena negri belahan surga ini belum mampu menjadi surga bagi rakyatnya.
Cerita tentang sukses mereka, tentu juga banyak. Namun sebaliknya, kisah menyedihkan tentang mereka, juga tak mungkin bisa ditutup-tutupi, biarpun banyak dari pihak PJTKI yang berang jika melihat pemberitaan tentang kesedihan di negri orang.
Ini semua, tak bermaksud menjadikan hati kecil saudara-saudara kita yang mau bekerja di luar negri, melainkan ingin mencoba berbagi rasa dan cerita khususnya berbagai persoalan yang menyangkut dunia per-TKI-an dan buruh migran.
Harapan kita semua, mudah-mudahan kelak, negri kita yang kaya raya ini, tak akan lagi mengirimkan orang-orang ke luar negeri, karena negri sendiri sudah mampu menyediakan lapangan kerja untuk rakyatnya.
Atau jika masih mengirimpun, mudah-mudahan sudah tidak lagi tenaga tanpa ‘skill’, melainkan tenaga ahli yang mau mentransfer teknologi kepada mereka. Sehingga, martabat orang kita di luar negri akan terangkat dan tak akan ada lagi mendengar ada orang-orang Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi oleh segelintir para majikan di luar negri.
Perjuangan individu dan kelompok untuk menjadi sosok-sosok yang takwa, figur-figur yang mengikuti rel sang Kuasa, akan menjadi solusi jitu menjadikan negri kita ini, negri yang thoyyibatun wa robbun ghofuur, negri yang baik, yang senantiasa disejahterakan dan diampuni oleh Allah SWT. Amin!