Hari Minggu kali ini suasana masjid tampak lain, tak seramai biasanya. Hanya ada sedikit anak-anak yang hendak belajar baca Quran. Padahal biasanya sejak jam 12 siang di ruang dekat mihrab masjid telah berkumpul anak-anak remaja putra dan putri, khusyu mendengarkan penjelasan tentang Islam dalam bahasa Jerman dari pembimbing mereka, salah satu dari tiga orang dewasa berkebangsaan Jerman dan Arab yang silih berganti membimbing mereka mengenal Islam.
Kemudian di ruang shalat perempuan, ada dua atau tiga kelompok anak-anak dipandu guru-gurunya membaca Al-Quran dan di ruang belakang anak-anak yang lebih kecil berkelompok pula membaca iqra. Tak jauh dari tempat tersebut dalam ruang lebih kecil sekelompok ibu yang mengantar dan menunggu anak-anaknya, dengan penuh semangat belajar memperbaiki bacaan al-Quran mereka.
Saat membaca deretan kalimat pada selembar kertas yang ditempel di papan pengumuman, baru saya sadari kalau hari itu ada acara penggalangan dana yang diprakarsai saudara-saudara dari masjid lain, tempat berkumpulnya muslim-muslimah dari Arab, Turki dan Jerman. Mereka hendak menggelar acara bazaar makanan dan minuman, olahraga untuk orang dewasa dan melukis wajahserta menggambar buat anak-anak. Oleh karena itu para pengajar remaja meliburkan binaannya karena mereka ikut berperan dalam acara tersebut.
Menurut sahabat saya, kehadiran muslim-muslimah Indonesia ke tempat acara itu sangat mereka harapkan. Sehingga usai membimbing anak-anak dan para orangtua, kami berniat memenuhi undangan tersebut. Mengetahui niat kami, sekelompok muda-mudi Jerman yang sedang di masjid saat itu tak mau ketinggalan ingin meramaikan acara. Mereka adalah mahasiswa dari Universitas Humboldt yang beberapa minggu ini selalu datang ke masjid untuk meneliti budaya dan kultur Indonesia. Akhirnya berombongan kami menuju tempat yang beberapa waktu lalu menjadi ajang penggalangan dana masjid Indonesia.
Begitu sampai di tempat, saya lihat di pojok taman sebelah kiri para lelaki berwajah Arab dan Jerman sedang asyik bermain bola voli, sebagian lagi sibuk mengipas-ngipas sate, ada juga yang membantu para muslimah berkeliling menjajakan buah mangga. Di beberapa sudut lain tampak para muslimah dalam balutan jilbab dan busana yang syar’i, duduk-duduk di atas tikar bercengkerama dengan sesama. Ada juga wajah-wajah yang sudah tak asing, sekelompok mahasiswa Humboldt itu, rupanya mereka sudah sampai duluan. Mereka tampak betah menikmati suasana, asyik mengobrol sambil menikmati makanan. Kami pun segera menghampiri sebuah stand sate yang bumbunya ternyata dibuatkan oleh sahabat saya.
Ketika hendak mengantri, sebuah tepukan lembut di bahu mengagetkan saya dan reflek saya menoleh ke sebuah arah. Seraut wajah Jerman berbalut jilbab tersenyum melihat reaksi saya lalu ia mengucapkan salam dan segera saya balas dengan hal yang serupa. Kami pun berangkulan seolah sahabat yang sudah lama tak bertemu, padahal itu adalah pertama kalinya kami berjumpa. Lalu kami berkenalan saling menyebutkan nama, alamat rumah juga masjid tempat masing-masing beraktivitas. Tak lama ia memanggil teman-temannya sesama muslimah Jerman dan kembali saya dipeluk sedemikian rupa.
Kejadian serupa terulang lagi saat melihat-lihat stand lain. Kali ini saya berpapasan dengan muslimah Turki dan Yaman. Ah, ya! Mereka pernah berkunjung ke masjid Indonesia bersama dua muslimah Jerman yang saat itu saya lihat sedang sibuk melayani pembeli. Walaupun baru bertatap muka sekali saat menyambut kunjungan mereka ke masjid, sepertinya mereka tak lupa, bahkan sikap yang ditunjukkannya saat ini begitu sangat akrab.
Subhanallah, demikian indahnya ternyata nilai sebuah ukhuwah! Sekalipun bahasa Jerman saya masih sangat terbatas, bahkan sering gelagapan saat mereka bicara terlalu cepat untuk bisa saya tangkap maksudnya, tak menjadi penghalang untuk kami menjadi dekat. Mereka tak sungkan-sungkan menyapa dengan istilah schwester sebuah sapaan bagi saudara perempuan atau Bruder untuk saudara laki-laki. Hangatnya sikap persaudaraan yang mereka tebarkan seolah mampu menepis cuaca saat itu yang lebih dingin dari biasanya.
Sayangnya suasana siang itu tak bisa kami nikmati lebih lama. Mendung yang begitu tebal mamaksa kami segera berkemas. Saat bis yang kami tunggu datang, rintik hujan mulai turun dan bertambah deras. Ada perasaan sesal dan sedih menggantung di hati saat bis melaju di antara guyuran hujan lebat. Mengapa kami bergegas pulang meninggalkan mereka yang masih sibuk membenahi barang-barang serta dagangannya? Sebuah tanya diri tak mampu dan malu saya jawab. Wajah-wajah ramah bersahabat itu melintas kembali di pelupuk mata. Saya bayangkan bagaimana sibuknya mereka menyelamatkan semua barang dari terpaan air hujan. Pastinya sebuah pemandangan yang mengharukan. Sayang sekali saya tak bersama mereka merasakan suasana itu.
Maafkan kami saudara-saudaraku. Ruh persaudaraan yang kalian tebar begitu hangat saat menyambut kami belumlah terbalas dengan baik. Kami mesti belajar lebih dalam lagi menyelami makna persaudaraan, agar berat sama dipikul ringan sama dizinjing tak sekedar sebuah slogan.***