Ibu berusia sekitar enam puluh lima tahun ini berkebangsaan Jepang. Dia pernah tinggal di Indonesia sekitar awal tahun 70-an. Suaminya bekerja pada perusahaan Mitsubishi dan bertugas cukup lama di Indonesia saat itu. Keluarga mereka sangat mencintai Indonesia. Suaminya merasakan makna yang amat mendalam dengan pengalaman kerja di negeri jamrud khatulistiwa ini. Terlebih lagi dia merasakan sejak bekerja di sana, karirnya di Mitsubishi semakin menanjak. Setelah selesai bertugas di sana, pulang ke Jepang sekitar dua tahun, dia ditugaskan di Amerika dan menempati posisi yang amat penting.
Obrolan kami sore itu menyentuh sosok suami si Ibu. Saya bisa memaklumi di usianya dia butuh bercerita, mengenang masa lalunya dan juga mengenang suaminya yang telah meninggal kira-kira setahun lalu. Bagi saya ini adalah pertama kalinya saya mendengarkan cerita tentang suaminya. Kawan saya yang ikut dalam obrolan lebih mengenal si Ibu, karena lebih sering berinteraksi dalam latihan-latihan grup angklung, grup yang dibentuk sang suami untuk bisa terus berinteraksi dengan Indonesia dan mahasiswa Indonesia di Chiba.
"Suami saya mendapatkan jabatan penting di Amerika. Ketika kami tinggal di Washington, transportasi perjalanan kami sering menggunakan pesawat jet khusus yang disewa perusahaan," kenangnya tanpa menunjukkan ungkapan sombong. "Seringkali di rumah kami diadakan pesta dengan tamu-tamu para duta besar dan pejabat-pejabat penting Amerika. Suami saya amat dekat dengan menteri pertahanan Amerika saat itu."
"Tapi itu semua adalah masa di Amerika. Ketika kami pulang ke Jepang dan selesai bertugas di Mitsubishi, suami saya sempat mengajar di Universitas Takushoku untuk mata kuliah trading. Dia kemudian memilih hidup sederhana. Lihatlah rumah kami sekarang. Kami tidak kaya. Suami saya pun tidak meninggalkan warisan apa-apa buat anak-anak. Baginya anak-anak mesti mesti berusaha sendiri untuk sukses… Dan saya pun bahagia dengan kehidupan sederhana seperti ini." Rumahnya memang cukup sederhana untuk ukuran mantan seorang pimpinan teras Mitsubishi.
Sebuah apartemen dengan ukuran total sekitar 8 x 10 meter persegi. Nampak satu ruang tengah yang luas tempat sofa, meja makan berada. Ruang ini sangat bernuansa Indonesia, sebab banyak hiasan dinding dan foto-foto Indonesia. Sebuah ruang kerja dilengkapi dengan komputer dan sebuah kamar, yang kata si Ibu diperuntukkan sebagai guest-room, sembari menawarkan para mahasiswa Indonesia untuk menginap jika memerlukan. Suasana rumah ini memang cerminan sebuah keputusan yang amat bersahaja jika dibandingkan dengan fasilitas yang pernah keluarga ini dapatkan di Indonesia atau di Amerika.
"Di balik semua pengalaman kerjanya, suami saya tidak pernah merasa menjadi orang hebat. Dia menganggap semua kesuksesan ini hanyalah wujud penunaian tugas semata. Dia selalu ingin belajar kepada siapapun. Dia akan selalu mendengarkan orang lain dengan seksama ketika sedang menjelaskan sesuatu atau bercerita. Kebahagiaan paling besarnya adalah ketika dia pulang kerja dan bisa bercengkrama dengan keluarga di rumah…," Ibu ini berhenti berbicara sebentar. Nampak matanya berkaca-kaca dan suaranya bergetar.
"Dia selalu nampak tergesa-gesa ketika tiba ke rumah dan dia selalu ceria di rumah. Tak pernah keluar dari mulutnya cerita tentang suasana kerja… Saya tak pernah tahu masalah apa yang sedang dihadapi suami saya seberat apapun masalah itu. Sungguh saya merasa betul-betul puas menemani suami saya dalam suka dan duka. Walaupun dia sudah tiada, saya sungguh-sungguh merasa puas…" Si Ibu menggunakan kata jyuubun untuk menunjukkan rasa puasnya dengan kehidupan bersama suaminya yang telah dia jalani. Sebuah ungkapan syukur yang dalam, kata saya dalam hati.
***
AlhamdulilLaah, malam ini saya pulang ke apartemen membawa pelajaran-pelajaran kehidupan. Apresiasi saya sampaikan kepada si Ibu yang telah tulus mendukung suaminya dengan menciptakan suasana rumah menjadi tempat yang nyaman. Di antara pelajaran paling berkesan sore itu adalah kalimat "dia tidak pernah merasa menjadi orang hebat."
Seperti saya sampaikan pada obrolan tadi kepada si Ibu, sikap inilah yang membuat orang akan tetap menaiki tangga kesuksesan. Tak pernah berhenti belajar dan terus menekuni pekerjaan sebaik-baiknya. Bukankah ketika seseorang merasa telah di puncak sebuah bukit, tiada hal lain yang akan dilaluinya kecuali jalan menurun. Bagi seorang muslim sikap tak pernah merasa menjadi orang hebat adalah sikap tawadhu dan ini adalah cerminan sikap tulus ikhlasnya kepada Allah Yang Maha Penyayang dalam menjalani ibadah sepanjang hayat.