Sebuah dendang nasyid masih mengalun di antara rerimbunan dan sejuknya suasana kota hujan siang itu. Seorang bapak yang aku kira usianya telah lebih dari tujuh puluh tahunan masih asyik memetik satu demi satu dawai nada mengiringi lirik-lirik penuh makna, sementara itu seorang wanita yang mungkin isterinya, pula tak jauh bedanya usia di antara mereka, berada di sampingnya mendendangkan alunan rebana.
Tak ada masalah, tak ada keluh kesah, semua mengalir seakan sungai yang mengalun, mengukir dan meliuk indah di antara himpitan dua tanah hitam. Jika seorang pujangga berkata, mungkin tak berlebihan jika moment saat itu dikatakan, "Begitu indah… "
Sosok yang mungkin semestinya tak perlu lagi bersusah payah berada pada satu sisi kesulitan hidup dalam mengais rezeki, justru kini berada di sana. Berada dalam satu derita yang mengantarkannya pada satu posisi hidup dalam ketidakpastian akan apa yang akan didapatinya dalam mengarungi hari-hari dalam hidupnya.
Sepertinya terlalu picik jika kita mengatakan bahwa mereka itu pengemis jalanan. Sedangkan dalam kenyataannya, mereka justru lebih sabar dalam menjalani segala sesuatu beban dalam hidupnya. Tidak seperti kita yang justru ternyata terlalu sering untuk berkeluh dan mengemis serta mengiba sorot perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitar kita ketika mendapati satu demi satu kerikil masalah menghampiri kehidupan ini.
Aku tertegun…
Langkah-langkah kaki ini membawaku merenungi satu demi satu jejak hari. Dedaun rindang masih memayungi diri, semilir angin berhembus mengisahkan suasana hati.
Aku jadi teringat mereka. Mereka yang justru mampu berdiri dan berjalan tegak disaat aku hanya bisa tergopoh menjejak perjalanan panjang kisah kehidupan. Mereka yang mampu berkata tegar disaat mendung menghiasi langit kehidupan. Mereka yang bisa menebar senyum dan tawa disaat kepedihan dan kepiluan memaksa mereka berada pada tebing kesedihan.
Ah, ternyata tidak perlu malu untuk belajar dari mereka.
Pernah juga aku tertegun dan tersipu malu. Ketika dua mata ini terbangun dalam keindahan satu pertiga malamnya. Dua mata ini terbuka ketika satu demi satu percikan air wudhu mengalun dari balik dinding kamarku.
Mereka bukan para pemuja harta, mereka juga bukan penggila dunia. Kondisi kamar kontrakan mereka sering membuatku seharusnya lebih bersyukur. Dengan berdinding batu bata yang dilain sudutnya disambung dengan lempengan seng, namun mereka masih mampu hidup dan selalu dekat dengan Ia yang maha memilikinya.
Keistiqamahan mereka dalam menemui saat-saat terindah berdua dengan Rabb-Nya, telah mereka hadirkan bukan hanya sekali dua kali saja, namun sepertinya tak pernah lengkang dalam hitungan.
Subhanalloh…
Memang, semestinya mungkin kita harus sedikit menundukkan kepala atas berjuta kesombongan yang ada. Menatap hikmah dari mereka yang justru mungkin jauh lebih baik kualitas ibadahnya, lebih baik dalam mensyukuri hari-harinya, lebih baik dan bijak dalam menghadapi satu demi satu masalah dalam kehidupannya, serta lebih baik dalam menata langkah menggapai keistiqamahan dalam rajutan kasih dan sayang-Nya.
Ya Rabb, izinkan kami untuk bisa merasakan nikmatnya hari-hari, menggapai barokah, menuai hikmah dari setiap apa yang ada. Serta jadikan dan persatukanlah kami dengan mereka ahli-ahli syukur-Mu serta mereka ahli-ahli menata diri dan menata hati. Ya Rabb kabulkanlah do’a kami…
Aamiin yaa robbal’alamiin
Http://dik-dik. Multiply. Com