Belum lama ini saya mendapatkan surat undangan dari seorang kawan lama sewaktu masih saya masih aktif di organisasi kepemudaan. Kawan saya itu datang ke rumah saya saat pada malam hari di mana saya sedang istirahat. Karena pada siang harinya kawan saya itu mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Memang kebanyakan orang tua dulu bilang bahwa dalam bulan Islam antara bulan Syawal dan bulan Dzulhijjah merupakan bulan baik untuk melaksanakan perhelatan. Resepsi pernikahan.
Entah, sudah berapa banyak silih berganti surat undangan yang jatuh ketangan saya. Saat saya membuka dan membacanya timbul sebuah pertanyaan dalam hati, ” Kapan ya giliran saya?” Begitulah yang terlintas dalam benak saya. Apalagi kawan saya itu datang dengan membawa banyak surat undangan untuk ia sebarluaskan kepada teman-temannya, kerabat maupun handaitaulannya.
“Wah, enak nih sudah dapat calon!” seru saya berguyon saat kawan saya itu memberi surat undangan kepada saya.
“Ya, namanya juga jodoh, Yan, ” jawabnya sambil malu-malu kucing. Kebetulan kawan saya itu datang mengundang saya bersama calon isterinya yang sudah ia nikahi sebelumnya. Yang menurut saya calon isteri kawan saya itu sudah layak sesuai dengan kriteria seorang akhwat shaleha.
Itulah yang namanya jodoh! Kadang selama ini kita sering kali menganggap jodoh adalah sebuah misteri. Artinya jodoh adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh manusia–Tuhan yang mengetahui hal tersebut. Anggapan orang-orang bilang bahwa jodoh adalah misteri adalah ter-indikasi-kan bahwa jodoh sesuatu yang telah Tuhan tentukan untuk kemudian disembunyikan dari hambanya, sehingga jodoh tetap menjadi misteri. Tetapi benarkah jodoh itu misteri? Apakah jodoh adalah sesuatu yang telah ditetapkan dan diatur oleh Tuhan? Apakah tidak ada kebebasan bagi manusia untuk memilih jodoh untuk dirinya sendiri.
Hal ini mengingatkan saya pada guru ngaji saya ketika ia mengajukan kepada kawan-kawan (anak didiknya) yang lainnya. Guru ngaji saya bilang, ” Siapa nih yang sudah siap nikah? Nih, ditangan saya ada proposal akhwat yang sedang mencari ikhwan yang siap menjadi calon isterinya, ” ujarnya kepada saya maupun pada kawan kawan saya yang lainnya.
Tiba-tiba suasana pun hening.
Kami pun saling adu pandang! Mengira-ngira siapa yang bersedia untuk siap berumah tangga. Akhirnya suasanya pun menjadi riuh saling tunjuk satu dengan yang lainnya.
“Nah, ente aje deh yang buru-buru nikah. Ente kan udah gawe dan mapan? Siapa sih akhwat yang tidak mau?” Itulah kalimat-kalimat yang terlontar dari kawan-kawan saya yang lainnya. Saling tunjuk mencari “sasaran. ”
Saya? Sepertinya tidak!
Kenapa? Karena saya belum bisa dikriteriakan ikhwan yang mapan untuk sebagai seorang ikhwan yang siap menikah. Memang menikah adalah suatu hal yang sunnah yang perlu di laksanakan. Tapi bagaimana kalau seorang seperti saya belum mapan—menikah juga bukan sebuah permaianan. Karena dalam suatu pernikahan tersimpan suatu yang sakral untuk kita hormati. Untuk itulah saya tidak mau terburu-buru. Toh, nanti jodoh akan datang sendirinya—Tuhan yang akan memberi jalan-Nya dalam ikhtiar saya. Semoga!
Namun dengan demikian, ada hukum kehidupan yang kita kenal dan juga pepatah “Tak Kenal Mak Tak Sayang. Tak Sayang Maka Tak Cinta. ” Artinya untuk memperoleh pasangan hidup maka kita harus ada proses interaksi terlebih dahulu. Jadi sangatlah tidak mungkin kalau seorang berdiam diri saja dirumah. Tanpa berinteraksi atau ber- muamalah dengan siapa pun tak akan memperoleh pasangan. Oleh karena itu jodoh kita berada di tempat di mana kita berada dengan tingkat intensitas yang tinggi. Apabila kita sering nongkrong di Café, kita akan memperoleh jodoh kita ada di tempat di mana kita “nongkrong. ” Seperti ungkapan yang sering kita dengar, “ Kalau kita bergaul dengan tukang minyak wangi, kita akan kecipratan wanginya. Begitu juga kalau kita bergaul dengan seorang pembunuh tentu-nya kita akan kecipratan darahnya pula!” Entahlah, benar atau tidaknya saya juga masih rancu dengan pepatah tersebut. Tapi bagi saya itu tak ada pengaruhnya dalam kehidupan saya. Begitu juga ketika menentukan jodoh! Kalau ingin mendapatkan akhwat shaleha, ya kita harus banyak pergi ke majlis taklim bukannya ke bar maupun ke pub. Bukankah begitu?
Jadi jodoh bukanlah sebuah misteri, karena pada dasarnya kita dapat mengetahui siapa yang kira-kira akan menjadi jodoh kita?
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah menikah dan kemudian cerai, apakah itu bukan jodoh? Janganlah kita katakan, ” bukan jodoh, ” atas hal tersebut. Sesungguhnya hal tesebut kegagalannya dalam mengelola hubungan dengan seseorang di mana seseorang masih mengedepankan egon-nya.
Terus bagaimana dengan yang belum dapat pasangan? Seperti saya contohnya yang high quality jomblo? Hal itu bukankah berarti Tuhan belum menimbulkan atau memilih seseorang untuk kita karena seperti yang telah saya paparkan di atas–pengalaman saya bahwa masalah siapa-siapa adalah urusan sendiri. Dan apabila kita masih belum mendapatkan pasangan juga, jangan men-judge Tuhan dengan, ” belum jodoh, ” karena bisa jadi ada yang tidak beres pada diri kita.
Fiyan Arjun