Tiga hari yang lalu saya sengaja menyempatkan diri untuk menyaksikan siaran tunda penganugerahan ratu sejagat, atau yang lebih dikenal dengan Miss Universe, tahun 2006. Di luar kebiasaan saya memang, karena sebelumnya saya hampir tidak pernah tertarik untuk menyaksikan acara serupa ini.
Satu hal yang membuatku tiba-tiba tertarik adalah keingintahuanku akan alasan-alasan para gadis seusiaku itu untuk mengikuti kontes kecantikan ratu sejagat ini. Kiranya, alasan apakah yang telah mendorong puteri dari Ethiopia untuk mengikuti kompetisi ini, meskipun negerinya terkenal tengah dilanda kelaparan dan kemiskinan. Begitupun dengan Indonesia yang selalu mengirimkan puterinya, meskipun juga selalu memicu banyak kontroversi.
”Ingin memberikan perubahan yang lebih baik bagi dunia”, kurang lebih itulah alasan umum yang mendasari 85 puteri dari seluruh penjuru dunia itu untuk mengikuti dan memenangkan kontes Miss Universe ini. Alasan tersebut memang sinkron jika dikaitkan dengan beberapa program Miss Universe yang bersifat sosial di beberapa negara. Namun alasan tersebut menjadi tidak sinkron, ketika proses penilaian kontes Miss Universe ini sebagian besar justru ”mengeksploitasi” secara sukarela lekuk-lekuk tubuh mereka.
”Apakah harus begini cara memberikan perubahan yang lebih baik bagi dunia?”
Saya yakin bahwa gadis manapun di dunia ini –termasuk saya, tentu ingin memberikan perubahan yang lebih baik bagi dunia. Dan tentu banyak jalan untuk mewujudkan mimpi dan harapan tersebut. Bahkan jalan tersebut bisa jadi jauh lebih baik dan bermartabat.
Mungkin kita bisa belajar dari Ayat Al-Akhrash, gadis Palestina usia belasan tahun yang telah rela mengorbankan nyawanya menjadi bom syahid untuk meledakkan Zionis Israel. Atau mungkin kita bisa belajar dari pahlawan wanita legendaris Indonesia, RA Kartini, yang telah memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan, perlakuan, dan kehidupan yang adil. Atau tengoklah penulis buku best seller Tetsuko Kuroyanagi, yang telah berhasil menginspirasi dunia pendidikan lewat karya populernya ”Totto Chan”. Dan mungkin kita juga bisa belajar dari Mother Theressa, seorang ibu yang telah mengabdikan hidupnya untuk merawat penderita kusta di Calcutta, bahkan Nadine Chandrawinata (Puteri Indonesia) juga turut mengaguminya bukan.
Itulah sekelumit contoh hal-hal mulia yang dapat kita lakukan untuk memberi perubahan yang lebih baik bagi dunia. Dari mereka kita bisa belajar, bahwa untuk melakukannya tidak perlu melewati fase puteri-puterian yang justru akan mengurangi esensi dari perubahan itu sendiri. Karena kriteria-kriteria yang mereka gunakan untuk menobatkan seorang Miss Uiverse terlalu dangkal. Terlebih karena kemuliaan seorang wanita tidak cukup jika hanya diukur berdasarkan 3 B saja. ”Jadi, apakah Indonesia masih akan terus mengirimkan puterinya lagi tahun depan?”
”Pengen ngerubah dunia?! Nggak harus jadi Miss Universe lagi…”