Tak Akan Pernah Cukup

Ingat pengalaman mudik kemarin? Pasti banyak hal yang berkesan, terlebih bagi yang merasakan “nikmatnya” macet. Berulang terus setiap tahun, tradisi mudik ini membuat kita terbiasa dengan kondisi jalan yang macet dan berbagai kendala yang mungkin terjadi selama dalam perjalanan.  Berbagai  hal pun dipersiapkan untuk mengantisipasi kebosanan saat terjebak dalam kemacetan  jalan. Mulai dari mencharge peranti elektronik, makanan, minuman, bacaan, bahkan ada yang sampai mempersiapkan pampers untuk jaga-jaga di jalan.

Jika untuk perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa hari saja, begitu banyak hal yang kita siapkan. Apalagi untuk perjalanan yang akan memakan waktu lebih lama. Tentunya akan lebih banyak lagi yang harus kita persiapkan. Tapi pertanyaannya adalah, cukupkah waktu yang kita miliki untuk mempersiapkan perjalanan kita tersebut?

Seorang sahabat mengingatkan saya tentang hakekat perjalanan yang sesungguhnya. Kehidupan manusia di dunia, adalah ibarat sebuah perjalanan menuju ke suatu tempat.  Kita tidak pernah tahu kapan kita akan tiba. Meskipun  tujuannyanya tentu sudah jelas, alam akherat.  Tak ada yang pernah tahu, sampai kapan usia di dunia untuk mempersiapkan kehidupan di alam keabadian.

Jika dirata-rata usia manusia 60 tahun, sementara waktu yang kita gunakan untuk tidur dalam 1 hari adalah 6 jam, maka waktu yang diperlukan untuk tidur adalah 15 tahun, atau seperempat dari usia rata-rata. Jika tiga perempat usia sisanya tidak kita maksimalkan dengan baik, mungkin tak akan cukup waktu  kita mempersiapkan bekal untuk di akhirat nanti. Dan alangkah ruginya kita sebagai seorang muslim.

Dalam surat Al Ashr, Allah memperingatkan manusia dengan waktu, mungkin inilah salah satu hikmah yang bisa kita ambil dari ayat tersebut. Gunakan waktu semaksimal mungkin agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi. Gunakan seluruh aktivitas kita menjadi sesuatu yang bernilai ibadah, dalam upaya kita untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Memulai dan mengakhiri setiap aktivitas dengan menyebut nama Allah. Memperbanyak dzikir, dan aktivitas ibadah lainnya sebagai ikhtiar kita untuk mempersiapkan bekal perjalanan akhirat.

Terlihat sederhana. Tapi hitungan matematis ini tidakakan berlaku jika tanpa ridho dari Allah SWT. Seperti dalam sebuah kisah tentang seorang ahli ibadah yang sangat sholih. Seluruh waktu dalam hidupnya digunakan utuk beribadah kepada Allah dan memohon ridho dan rahmatnya. Hingga saat dia wafat, dengan rahmatNya,  Allah memasukkan sang hamba ke dalam syurganya.

Sang hamba yang sholih menggugat, jika bukan karena kesholihannya, tentu dia tidak akan masuk ke dalam syurga. Allah berkata bahwa hanya dengan rahmatnyalah sang hamba dapat masuk ke dalam syurga. Sang hamba berkelit, dan tetap dengan keyakinannya, bahwa masuknya dia ke syurga adalah karena amal sholihnya. Malaikat kemudian menimbang semua perbuatan buruk dan amalan baiknya. Hasilnya… perbuatan dosanya lebih berat ketimbang pahala yang dimilikinya. Kemudian Allah mencabut rahmatnya dan  memasukkannya ke dalam neraka. Naudzubillah.

Memang, Allah memberikan manusia akal dan kecerdasan. Sehingga pandai menimbang-nimbang apa  yang baik dan yang buruk baginya. Allahpun sudah memberikan petunjuk dan rambu-rambu agar manusia tidak tersesat jalan. Tapi sekali lagi, semua itu tidak ada artinya tanpa rahmat Allah SWT.

Dengan memaksimalkan amalan dan kebaikan. Dalam upaya mempersiapkan diri, kita tentu tetap selalu berharap kepada Allah yang maha pengasih dan penyayang. Dengan  kasih dan  sayangnya akan memasukkan siapa saja yang dikehendakinya ke dalam syurganya. Dan dengan amalan maksimal, kita bisa berharap Allah akan semakin sayang kepada kita dan memasukkan kita ke dalam golongan orang yang dirahmatinya.  Sehingga dengan rahmat dan kasih sayangnya Allah akan memasukkan kita ke dalam syurganya. Aamiin. ( By Dwi Nurmiati )