Tahun itu Nero menjadi mualaf. Begitu pesan tertulis di messangerku dari seseorang negara nun jauh di sana. Saat itu 1 Muharam 1429 H, atau tanggal 10 Januari 2008 M, Nero mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan puluhan mualaff di Masjid Islamic Cultural Center, New York.
Aku Jadi ingat kira-kira kilas balik yang lalu, ketika pesawat kami tertunda di Bandar Seri Begawan dan kami harus menunggu keberangkatan hingga malam itu menuju Shardjah, Emirat Arab. Kami harus menunggu cukup lama di Brunai. Bagiku ini perjalanan yang cukup melelahkan. Pagi-pagi sekali kami terbang dari Balikpapan menuju Jakarta, kemudian siangnya kami melanjutkan perjalanan dari Jakarta menuju Brunai Darusalam, karena kami akan berganti pesawat menuju Shardjah dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Jeddah.
Dia melihatku dengan wajah begitu kelelahan. Kemudian dia menyapaku, Are you from Indonesia? Sapanya. Yup, jawabku. Hai, saya Nero, mau ke mana? Tanyanya dengan bahasa Indonesia yang masih terdengar aksen inggrisnya. Ke Jeddah. Jawabku lagi. Oh…gumamnya. Saya mau Tanya, apa itu casing yang kamu pakai? Tanyanya sambil menunjuk jilbab panjang yang aku kenakan. Oh, ..this is jilbab, kami bilang jilbab or kerudung..jawabku. Oh. I see..jawabnya.
Kami memulai pembicaraan dengan panjang lebar. Dia tertarik dengan busana muslim yang aku kenakan. Dia kagum dengan orang-orang melayu, mengenakan busana yang serba tertutup dengan iklim tropis yang notebenenya sangatlah panas.
Nero, blasteran Jawa – Jerman. Nama lengkapnya Nero Narianto Stocholm. Nama Nero diambil dari raja Nero yang dikenal sebagai ‘pembakar’ kota Roma, Narianto diambil dari kata penari (ibunya penari Jawa dan masih mengabdi di keraton Jogjakarta). Stocholm adalah nama akhir ayahnya, yang berasal dari Berlin, Jerman. Wajah indonya sangat kental, nuansa Jerman, terutama hidungnya sangat jelas kalau dia adalah blasteran. Dia tinggal di New york bersama adiknya. Kedua orangtuanya masih menetap di Jakarta dan ibunya masih sering mengajar nari di Jogja. Saat itu dia sedang mempelajari Islam.
Hari itu dia hendak berangkat menuju Jeddah bersama rombonganku. Menurutnya, dia akan bertemu dengan syaikh yang selama ini menjadi gurunya di Madinah, saat itu Nero masih memeluk agama Nasrani. Sebelum memeluk Nasrani, Nero berpindah-pindah agama, berawal dari seorang atheis, yang kemudian berusaha mencari jati dirinya, kemudian berpindah menjadi seorang Yahudi dan Nasrani.
Ada pertanyaannya yang mungkin membuatku terhenyak dan mungkin bagi kita semua akan berfikir lama untuk menjawab. Mengapa kamu memilih untuk memeluk agama Islam apa karena ayah-ibumu Islam? Dan mengapa kamu disebut muslimah? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi bagiku membutuhkan perjuangan besar untuk menjawabnya. Bagi Nero, yang ibunya beragama Islam, dan ayahnya yang beragama nasrani. Tidak mudah memantapkan hati pada satu agama, tapi jika kita tidak yakin dan menjalankan dengan baik agama yang sekarang kita anut. Cukup lama dia menjadi atheis, kemudian menjadi penganut Yahudi dan terakhir memilih nasrani. Tetapi tidak ada kemantapan hati dan beribu pertanyaan yang selalu singgah dalam hatinya.
Saya tidak bisa menjalankan karena mengikuti orang tua, saya harus yakin, karena mencari Tuhan itu sungguh luar biasa, alasannya. Ketika aku bertanya mengapa dia tertarik mempelajari Islam. Saat ini saya sedang mempelajari Islam, Karena sampai hari ini, yahudi ataupun nasrani tidak membuat saya yakin, dan saya sungguh benar-benar kagum dengan kebersamaan umat muslim di Jakarta ketika sholat, mereka tidak melihat siapa yang berada di depan, yang berada di depan adalah mereka yang terlebih dahulu bergerak mendengar adzan waktu masuk sembahyang. tidak membedakan mana yang kaya dan miskin.
Dia mempelajari Islam setelah dia bertandang ke rumah orang tuanya di Jakarta setahun yang lalu, ketika itu ibunya meletakkan terjemahan al-quran diruang keluarga, dan Nero penasaran dengan isi al-quran, karena di Amerika agama pemilik kitab suci ini difitnah sebagai agama orang teroris. Betapa terkagum-kagumnya dia begitu membaca isi Al-Quran, bahasanya, dan perintah-perintah yang halus dari Tuhan untuk manusia.
Sejak itu Nero, berusaha mengikuti pengajian di Jakarta ataupun di New York, terkadang dia juga mengambil bahan-bahan dari situs-situs Islam.
9 jam berlalu, tidak terasa perjalanan jauh telah kami tempuh. Pesawat kami transit beberapa menit di Shardjah, Uni Emirat Arab dan setelah itu akan melanjutkan perjalanan ke Jeddah.
Kemudian, 2 jam setelah itu kami tiba di Jeddah. Kami tiba tepat pukul 4.00 pagi waktu Jeddah, atau kira-kira pukul 9 waktu Jakarta.
Setelah perwakilan travel mengumpulkan rombonganku, Nero memisahkan diri dari kami, maybe tomorrow I’ll go to Madinah, insyaAlloh. today I meet my friend from India, he’s a student of Universitas Islam Madinah. Nice to meet you, I like your Jilbab, I like discuss with you, ..see you next time. Nero berpamitan dan kemudian menghampiri temannya yang berasal dari India.
Hidup itu pilihan, Nero sudah membuktikannya, aku bisa mengerti mengapa dia memilih jalannya saat ini. Karena Alloh menunjukkan kepada kita, mana jalan yang baik dan mana jalan yang salah, setelah itu tinggal kita yang memilih. Dan dari Nero juga aku belajar, menjadi seorang Muslim itu bukan berawal karena orang tua atau karena kita dilahirkan dengan kondisi lingkungan yang muslim, tapi karena kita yakin dan kita sanggup untuk menjalankannya.
Apa pernah kita bercermin pada diri sendiri, seandainya orangtua kita tidak beragama muslim? Pasti kita memilih apa yang dipilihkan oleh orang tua kita. Menjadi muslim bukan hanya ‘label’ semata, tapi harus adanya keyakinan dan kepercayaan serta kesanggupan untuk menjalaninya. Banyak dan banyak sekali umat muslim yang mengaku beragama Islam, tetapi perilaku dan kegiatannya tidak mencerminkan keIslamannya. Banyak yang mengaku Islam dan faham akan hukum-hukumnya, tapi banyak pula yang melanggar bahkan berani meninggalkan kewajibannya untuk sholat.
Terkadang kita merasa sebagai muslim, tetapi kita tidak peka dengan keadaan saudara kita sesama muslim. Kita bahkan menutup pintu rapat-rapat untuk membantu mereka, kita sering mempercayai sesuatu daripada kita percaya dengan takdir Alloh, kita sering lalai menjalankan sholat 5 waktu, kita lebih sering curhat pada manusia daripada beroda dan mengadu kepada Alloh, kita sering meninggalkan Al-Quran sebagai pegangan hidup kita dan memilih Koran atau kertas kerja sebagai bahan referensi hidup kita, kita sering mengejek saudara-saudara kita yang berdakwah daripada mendengarkan isi dakwahaannya, kita sering tidak memaafkan kesalahan saudara kita daripada kita bersilaturahmi. Bagaimana kita bisa disebut muslim?
Nero, How bout your V’day 14th Feb? Tanyaku ke Nero via messanger, yang memang menjadi wadah diskusi jarak jauh kami. Dan jawabannya membuat aku tersenyum sendiri…Sorry my dear, This year I wasn’t to celebrated V’day, coz I’m a muslim now…how bout u? Tanyanya lagi. this is a big job. This is our duty to got Islam Kaffah, …keep on and go on your dakwah, …
Ya, keep on our dakwah, karena ini adalah amanah – Nya. He has a Islam, …Nero is my brother now.
(especially dedicated to Nero Narianto. thanks to give me inspiration, semoga Alloh mempertemukan kita lagi dalam ibadah yang ikhlas)